: Penanggungan.
Nama yang selama hampir setahun ini selalu menghampiri telinga dan mata saya hingga menerbitkan rasa ingin berada di sana entah kapan suatu ketika. Kata-kata yang terbaca oleh mata saya dipenuhi dengan bahasa Jawa Kuna dari seorang Kawi yang rasanya sudah entah berapa ratus atau ribu tahun usianya.
Kata-kata yang terdengar di kuping saya dipenuhi dengan gebu tentang matahari, bulan, bintang dan betapa cerdik cendekianya leluhur kita di masa lalu.Â
Ajakan itu.Â
Ajakan untuk tidak selalu lari ke pelukan mistisme berpikir dan mitologi dewa-dewa.Â
Ajakan untuk sejenak memeluk anugerah Tuhan yang bernama otak dan pikiran.
Observatorium Purba, Gusti ...!
Observatorium Purba.
Begitu kata Kawi itu berkali-kali.
Kutulis pada lembar imajinasi, begini:
Cahaya.
Bayangan.
Light and darkness.
Baruna.
Timur Laut.
Lintang Selatan.
Bujur Timur.
Fase bulan.
Arah terbit matahari.
Aduh.
Indah sekali.Â
Ketika sastra dan science bertemu dalam padu.Â
Ketika sastra dan science bertemu pada hari yang dijodohkan.
Kita bicara tentang Penanggungan dan delapan arah mata angin dengan nama para dewa yang menjagainya termasuk penjaga titik nadir dalam bahasa science yang menggandeng erat konstelasi bintang di angkasa.
Adakah yang lebih indah daripadanya?
Kusangka tadinya tidak ada.Â
Ternyata: ada.
Yaitu: misteri.
Mengapa leluhur kita tidak mau membukakan barang sedikit saja apa yang ada di sana hingga kita seringnya termehek-mehek dalam mistisisme yang sangat kental dengan ujung kosong?
Begitu tanya Pujangga Kelana itu pada diri sendiri.
Sedangkan aku tahu bahwa ia pun mengetahui jawabannya: semua butuh sebuah kesiapan-diri yang dahsyat.
Penanggungan.Â
Tunggu aku, suatu ketika nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H