PERTAPA GUNUNG PAYUNG (2)
"Kak, lewat sini aja...," ujarnya. Wayan Aryana namanya. Tapi aku memanggilnya Ai. Dari kecil memang begitu dia dipanggil. Gak tau kenapa. Ai adalah sepupu jauhku dari pihak Ibu.
Aku menghentikan langkahku. Memandang ragu ke arah Wayan.
"Ai, aku sudah pernah kesini, dan untuk sampai ke lokasi, dulu aku ambil jalur kiri," ujarku menjelaskan.
Ai mengibaskan tangannya di hadapanku.
"Kak, itu kan dulu. Sekarang, kita ambil jalur kanan. Yuuukkk...,"
Tanpa mengunggu jawabanku, Ai menarik pergelangan tanganku memaksaku mengikuti langkahnya.
Di jalur kanan ini, aku tidak menemukan jalanan dengan dinding kapur seperti yang dulu kulihat. Dulu, aku berjalan di sebuah lorong besar selebar kira-kira tujuh meter, jalanan batu yang rata, dengan batas dinding batuan karang kapur yang eksotis. Jalanannya menurun, dan memutar, membentuk seperti alur sungai yang melengkung. Muara dari jalanan ini adalah sebuah tanah datar yang cukup lapang lebih lebar dari jalanan sebelumnya. Di tebingnya terdapat pagar. Di posisi itu kita bisa melihat keindaham samudera Selatan Bali dari ketinggian. Satu-satunya jalan setelahnya adalah jalan menuju arah Barat, selebar kurang lebih 2-3 meter. Jalan setapak. Tepatnya undakan tangga menuju ke bawah.
Itu dulu. Sekarang, di hadapanku adalah undakan menurun dari batu yang menuju sebuah gapura. Semacam gerbang buatan paduan antara lorong, gua, dan bebatuan, menuju sebuah tempat pertunjukan yang megah. Sebuah amphitheater.
"Wahhh... bagus banget, Ai..." kataku dengan rahang menganga setibaku di ujung lorong.