Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertapa Gunung Payung (2)

5 April 2020   16:07 Diperbarui: 27 Januari 2021   04:56 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lelaki Jawa yang mengenakan jarit kain batik tulis motif parang. Sumber dari film Sultan Agung.

"Pakaian Jawa. Jaritnya motif Parang, dengan dasaran warna putih. Kemejanya seperti model surjan, dan mengenakan ikat kepala seperti blangkon atau entah apa, namun itu khas Jawa Tengah.. Trus di pinggangnya ada kerisnya. Mukanya cakep deh, Ai. Ganteng .... "

Ai menyimakku dengan penuh perhatian. Ia meningkahi perjalanan kaki kami ke arah tempat yang kami tuju dengan pertanyaan-pertanyaan. Sesekali Wayan menjelaskan tentang tempat yang kami tuju. Tempat tujuan kami ini adalah tempat favorit Wayan jika ia bertandang ke sini. Sebuah ceruk besar, atapnya setinggi kurang lebih 3 meter bervariasi. Lebar ceruk ini mungkin 20 hingga 30 meter. Jarak antara dinding dengan tepi terluar mungkin 17 m. Semakin ke arah pantai semakin lebar dan semakin banyak jilatan ombak laut yang mengenai permukaan pasirnya. Batu-batu karang tersebar di seluruh area. Semakin dalam ke dalam dinding karang semakin rendah atapnya dan semakin berpasir. Beberapa pertanyaan ia lontarkan tentang ciri-ciri pertapa itu. Apakah masih muda? Apakah berkulit putih atau sawo matang? Apakah berkumis atau tidak? Banyak sekali pertanyaannya, hingga bila seluruh pertanyaan dan jawaban itu diubah menjadi sebuah sketsa wajah dan tubuh manusia, bisa tergambar gamblang bentuk fisik dan wajah Sang Pertapa.

"Oh, ya. Yang menurutku aneh tuh, di telinga kanan pertapa itu tersemat kembang Cempaka Putih. Itu lho, Ai, yang sering ada di Jawa Tengah. Bunganya kuncup ...... enggak mekar seperti bunga Cempaka Kuning yang sering kulihat di pasar-pasar di Bali sini ...."

Tiba-tiba saja, Wayan berhenti. Hampir saja aku menabraknya dari belakang karena sedari tadi sambil berceloteh, aku menguntitnya tanpa melihat sekeliling. Aku hanya memperhatikan jejak langkah Wayan.

"Kak ....."

Suara Wayan terdengar pelan, setengah berbisik, nadanya mengambang. Refleks, tangan Wayan mengembang seolah ada mara bahaya di depan sana.

Sontak aku berlindung di belakang badan Wayan. Mengintip pelan-pelan pemandangan di depan.

Dan... Ya Tuhanku! Itu ....... lelaki yang ada di depan sana itu...

Aku memicingkan mata. Seorang lelaki di depan sana, di sebuah ceruk besar berbatu karang. Wajahnya persis seperti yang kudeskripsikan kepada Wayan. Hanya saja, ia tidak mengenakan surjan maupun jarit batik motif parang.

Yang membuat mulut kami tambah menganga adalah di telinga kanannya terselip bunga Cempaka Putih. Hal yang tidak lazim bagi orang Bali. Seringnya yang tersemat di telinga adalah bunga Jepun Bali atau Kemboja.

Ia sedang tidak bertapa. Ia bertelanjang dada, dan mengenakan jins biru selutut. Di tangannya kamera Go Pro. Kayaknya dia sedang asyik sendiri dengan kesibukannya membuat video. Ia sendirian. Sedang memperhatikan tiga ekor kupu-kupu putih di dekat tebing karang sisi Barat yang beterbangan ke sana ke mari dengan riang. Mereka - kupu-kupu dan Sang Pertapa itu - terlihat begitu riang dan bahagia.

Tak urung mukaku pias dan kakiku gemetaran.



Kramat Pela, 4.4.2020. Rahajeng Rahina Krulut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun