"Apa kubilang, kan .....? Kak Galuh sih, keseringan gak percaya aku,"
Wahh... amphitheater ini memang keren banget. Barangkali bisa menampung 300 - 600 penonton dengan panggung berlatar belakang samudera lepas jauh di bawah sana. Layout amphitheater ini dari atas adalah setengah lingkaran dengan lengkungan di sisi menghadap laut, berupa undak-undakan untuk duduk para penonton. Sebagai stage nya, dibuat sedemikian rupa sehingga tidak hanya berupa 'stage' datar melainkan ditingkahi dengan banyak "jembatan" dan permukaam datar sehingga jauh dengan kesan monoton. Tentunya beberapa patung-patung khas Bali ditempatkan di kanan kiri. Ya, Bali selalu identik dengan sesuatu yang lebih "diindahkan" dan dipercantik. Kesenian, sudah menjadi bagian sehari-hari pulau ini. Bunga ada di mana-mana.
Namun stage yang sesungguhnya berada di paling ujung belakang area. Di sisi kiri dan kanannya terdapat lorong yang menuju ke arah bawah. Kedua lorong itu bertemu di satu titik.
Oh! Iya! Rupanya lorong ini juga berfungsi sebagai jalur menuju backstage. Tempat biasanya para penampil berkumpul dan bersiap diri sebelum jalannya pertunjukan.
Untuk menuju pantai, rupanya kami harus menuju lorong bawah tanah jalur menuju backstage yang letaknya di sisi belakang stage. Memasuki lorong itu rasanya seperti melewati gua dengan mulut gua menghadap ke pantai. Namun jangan salah, posisi pintu gua ini berada di sebuah tebing sehingga mau tak mau kita harus berjalan ke sisi kanan, hingga tiba di sebuah perhentian, dan menuruni anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat.
Aku sudah mengenal medan anak tangga itu. Masih lekat di ingatan, dulu, di April 2018, aku menuruni anak tangga itu dan masih terbayang rasa capeknya saat menaikinya kembali untuk pulang.
Sesampai di bawah, tak sabar aku menghamburkan diri ke air asin Gunung Payung. Ai sama antusiasnya. Seperti dua tahun lalu, pantai ini pun sepi. Tak banyak orang yang berkunjung. Sekilas aku melihat seorang nelayan dengan rambut gimbal dengan kulit berhasil tanning yang tampangnya seperti Bob Marley. Ia tersenyum ramah kepada kami. Mataku terpaku pada kalung taring binatang yang menggelantung di lehernya. Orang itu tersenyum kepada kami.
"Om swasti astu .....! Hati-hati ya berenangnya ....!" Sapanya ramah sambil mendorong perahu.
"Rahayuuuu ....!" Balasku.
"Suksmaa ....," ujar Wayan.
Di pantai, aku seperti ikan yang berbulan-bulan tidak ketemu air. Berlarian. Bermain pasir. Menceburkan diri ke laut. Bangkit lagi. Berjalan lagi di atas pasir. Mencari kerang-kerang. Menceburkan diri lagi ke air laut. Berdiam diri membiarkan kakiku mengambang diantara H2O yang tercampur NaCl. Menengadahkan wajah dan merentangkan dua bentang tangan untuk disapa cahaya Sang Surya. Mengheningkan pikiran beberapa lama.