"Jika kau sudah bisa melihat kemilau dari kelamnya hitam, itulah cahaya yang sesungguhnya...."
Aku kembali memperhatikan pohon besar ini, setelah mengangguk mengiyakan kalimat Prabangkara.Â
Kuikuti arah pandangnya yang juga mengamati celah gelap. Pohon ini tinggi menjulang. Barangkali yang tersembul di permukaan bumi hanya 1/3 bagian tubuhnya saja. Selebihnya, 2/3 bagian tubuhnya, adalah akar yang berada di kegelapan. Setia menjalani tugasnya melata dan menggenggap erat air kehidipan. Barangkali itu lah yang dimaksudkan Prabangkara. Gelap. Hitam. Legam. Namun menyimpan kemilau. Hanya bagi orang-orang yang mau melihatnya.
Satya menyimak setiap kata yang diucapkan Prabangkara.Â
Lalu ia sendiri berkata,
"Sahabat bagi langit yang cerah
Pohon itu begitu tinggi hingga mahkotanya seperti di atas awan
Embun yang jatuh di lembah meluncur turun dari dedaunan
angin kencang sering muncul di puncaknya, tidak ada yang tahu dari mana asalnya
Tidak seorang pun, kecuali mereka yang dapat melihat kematian sebelum dia mati.
Para roh berkumpul di pohon itu."