"Tentu saja dengan Nagasari, Satya. Angin hanya sekedar nimbrung"
Jawabku tak mau kalah.
Prabangkara menghampiriku. Ia melingkarkan selendang kunyitku di leherku. Selendang itu tanpa kusadari terjatuh saat angin datang di dekat pohon Nagasari. Prabangkara rupanya memungutnya tanpa suara.
"Kau rupanya sudah mulai jadi Penyembah Pohon juga seperti Satya, Dhiajeng...?" Tanya Prabangkara padaku.
"Belum separah dia, Kangmas..." Jawabku ringan. "Belum berani untuk hanya mengandalkan Sang Pohon untuk bertahan hidup, maksud saya." Satya terbahak dengan gelaknya yang khas.Â
Aku dan Prabangkara, sangat memahami Satya, sahabat kami. Dia sering sekali menghilang ke kedalaman hutan. Berhari-hari lamanya. Kadang sampai hitungan minggu. Selama itu pula, Satya akan mengandalkan pohon apapun untuk bertahan hidup. Ia kadang secara mujur dibantu kera-kera hutan yang entah sengaja entah tidak meninggalkan satu tandan pisang untuknya. Sejauh buah pohon tidak beracun sudah pasti akan menjadi makanan pokoknya selama berada di jantung hutan.
Sebenarnya, Prabangkara pun sama seperti itu 'kelakuan'-nya.  Tetapi bila Prabangkara bercerita tentang perjalanannya, tidak sedetil Satya bercerita. Dan Prabangkara tidak pernah tiba-tiba menghilang. Setidaknya ia mengabariku manakala  ia akan pergi jauh atau lama. Kadang ia menyebutkan tujuannya, kadang tidak.
Kami bertiga berjalan beriringan. Aku, Prabangkara, Satya. Kami berada di sebuah situs yang banyak ditumbuhi pohon Nagasari. Satu yang kuhampiri tadi yang masih muda. Ada beberapa yang tampaknya sudah ratusan tahun usianya. Gurat-gurat alur tubuh pohon Nagasari begitu merbawani. Di antara pohon-pohon Nagasari dan pohon berkambium yang tumbuh di situs tua itu, tumbuhan teratai merah jambu terawat rapi di dalam pot-pot tembikar warna coklat tanah yang sudah ditumbuhi lumut.
Kami kemudian duduk di bawah salah satu pohon yang paling besar. Naungan dedaunannya meneduhkan.
Prabangkara memperhatikanku yang memperhatikan pohon besar ini. Ada salah satu celah tergelap di batang pohon. Letaknya tepat di bawah kain Rwa Bhineda yang meliputinya. Sisa-sisa dupa dan canang ada di sana. Di sudut, terdapat semacam pelinggih dari bebatuan muda. Namun pada dinding tebing, dimana potensi longsor terjadi, meski talud batu terpasang rapi, terdapat lambang lencana segi delapan dengan sembilan simbol dewa-dewa. Kurasa usianya cukup tua.Â
Perlahan aku menoleh ke arah Prabangkara.
Ia diam saja. Hanya bibirnya yang tersenyum. Lalu, katanya,