Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kucing 1: Bidu

20 Desember 2019   21:55 Diperbarui: 21 Desember 2019   12:07 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.thespurcepets.com

Dulu saya punya kucing betina. Bulunya tiga warna. Kuning, putih, hitam. Istilah Jawa-nya Telon. Kata telon berasal dari kata telu. Telu artinya tiga. Telu dan imbuhan an. Telu-an. Telon. Kucing Telon. Kucing dengan tiga warna, kuning, hitam, putih. Konon, kucing telon jantan itu langka. Sebab, sewaktu bayi, seringkali dimakan oleh ayahnya. Katanya begitu. Tapi kucing telon saya kucing betina.

Seingat saya kucing telon itu kucing pemberian. Tapi saya tidak ingat, siapa yang memberikan kucing itu kepada saya. Saya hanya ingat, Ibu yang memilihkan namanya. Kata Ibu begini,

"Iki pus e jenenge Scooby-doo wae ya. Undang-undangane 'Bidu'."

Artinya: ini kucingnya namanya Scooby-doo aja ya. Dipanggilnya 'Bidu'.

Absurd ya Ibu saya? Scooby-doo kan nama anjing. Hahaha. Tapi begitulah Ibu. Kadang dibalik keanggunan dan ke-sangatlembut-an tutur katanya, terdapat ide-ide yang out of the box dan ngagetin. Lalu saya, fans berat Ibu sejak saya lahir apalagi bila melihat Ibu begitu cantik dalam balutan kebaya Jawa, dengan serta merta menyetujui sabda Ibu tentang nama kucing saya. Inggih, Ibu. Oke, Ibu. Bidu.

Saat itu saya berusia sekitar 7 tahun. Kelas 2 SD. Dari kecil, saya senang sekali bila tiba waktunya saya menginap di rumah Eyang Putri. Rumah Eyang Putri ini berjarak sekitar 1,5 km dari tempat tinggal saya, dan 270 m dari SD tempat saya bersekolah. 

Jika saya menginap di rumah Eyang beberapa hari dan tidak di akhir pekan, saya akan berangkat sekolah dari rumah Eyang berjalan kaki bersama teman-teman sekelas yang rute perjalanannya melewati rumah Eyang.

Ciri-ciri rumah Eyang adalah di halaman depan rumahnya ada pohon Mangga dan pohon Kelapa yang buahnya berwarna keemasan. Pohon kelapa ini sering disebut pohon kelapa gading. 

Atau Cengkir Gading. Saya selalu ingat pohon ini karena bila saya ke rumah Eyang dari tempat tinggal saya dengan naik becak, saya akan bilang ke Abang Becak untuk berhenti di rumah yang ada pohon Kelapa Gading di depannya. Jelas-jelas saya menyebutkan dua kata itu: "Kelapa Gading".

Di rumah Eyang juga ada tanaman melati yang setiap hari berbunga. Setiap pagi, Eyang Putri selalu meminta saya untuk memetikkan bunga melati dan mengumpulkannya di dalam sebuah wadah seperti mangkuk kecil. 

Eyang akan menaburkannya sebagian di atas tempat tidur di area bantal. Di tempat tidur itu, pada malam hari saya akan tidur bersama Eyang dengan 'lela ledhung' berupa dongeng-dongeng, kisah-kisah masa lalu, dan ritual yang tidak pernah ditinggalkan Eyang adalah 'isik-isik' di rambut saya.

Di rumah Eyang, banyak sekali kucing. Mungkin ada 7 atau 9 atau 11 ekor. Saya tidak hapal. Dan Eyang sangat telaten memberi makan kucing-kucing itu.

Ketika saya punya Bidu, maka saya pun melakukan 'copy paste' tingkah Eyang terhadap kucing-kucingnya. Bidu menjadi tahu siapa tuannya. Sepulang sekolah, Bidu akan mengeong seperti sengaja menunggu kedatangan saya.

Hingga pada suatu ketika, selayaknya makhluk hidup betina, Bidu mengalami peristiwa alam bernama kehamilan. Tiga anak Bidu lahir selamat sehat tanpa kurang suatu apa. 

Namun Bapak sebagai pemilik sah dan penguasa teritorial pemerintahan di koordinat tempat saya berada rupanya memiliki policy tentang kucing yang sangat tidak menguntungkan bagi Bidu. Dan saya. Inilah saat pertama kalinya saya mengalami peristiwa 'perpisahan' dengan sebuah makhluk hidup yang saya sayangi. Sebuah pelajaran tentang kemelekatan.

Bidu dan anak-anaknya harus hengkang dari kediaman kami. Setelah Bapak memberikan penjelasan yang panjang kali lebar kepada saya dan adik-adik, Bidu harus berpindah kewarganegaraan. Bukan lagi warna negara Wahidin 61B, melainkan warga negara pasar Tempat Pelelangan Ikan Pemandian Kartini.

Patah hati?
Sedih?
Kecewa?
Nangis?

Seingat saya tidak. Barangkali kemampuan persuasif Bapak sedemikian tinggi (makanya bisa mempersunting Ibu yang bagiku wanita tercantik di dunia -apalagi bila mengenakan kebaya-) sehingga saya merasa ikhlas-ikhlas saja. Tidak ada drama. Tidak ada peristiwa anak kelas 3 SD ngambek berlama-lama.

Hanya saja, di beberapa hari Minggu saat bisa bersepeda menyusuri pantai pasir putih Jepara selepas Subuh bersama kawan-kawan dengan tujuan final Pantai Kartini Jepara, saya akan menyempatkan diri berbelok ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dimana dulu Bidu dipindahkan kewarganegaraannya. Saya akan mencari binatang dengan nama latin panthera tigris dengan ciri-ciri telon yang khas, bersama tiga ekor kucing kecil-kecil manis anaknya. Seingat saya, saya tidak pernah bertemu Bidu pada setiap kali kunjungan ke pasar itu. Bahkan setelah berselang tahun saat saya ada kesempatan menyambangi TPI itu. Dimana kamu, Bidu?

"Di pasar, Bidu tidak akan kelaparan"
Begitu ujar Bapak sambil mengelus kepala saya. Gadis kecil dengan rambut sebahu, dengan jepit rambut logam di belahan kanan.

Kramat Pela, 20 Desember 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun