Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Secuil Taman Emas di Nias, Pantai Merah Afulu

27 Oktober 2019   09:39 Diperbarui: 27 Oktober 2019   13:27 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai pribadi. Begitu pikirku saat memasuki area yang kata orang-orang hanya sepanjang kurang lebih satu kilometer saja. Persisnya berapa, aku sedang tidak tertarik untuk menguliknya. 

Anggap saja 1.111 meter panjangnya. Biar seru. Betapa tidak, pukul 16.15 WIB, setelah melewati satu rumah penduduk, dan mengucap salam khas Nias "Yaahowu!" dan melintasi biota pesisir tanaman rambat yang berdaun hijau yang 'melata' menempel erat pada hamparan pasir, makhluk hidup bernama manusia hanya saya dan Nurdin Zebua.

Begitu mataku menyapu pantai berpasir merah ini saya langsung melupakan Nurdin Zebua alias Ama Indah, yang nyupirin saya hari itu berkeliling Nias hari itu. Di Nias, seorang lelaki yang sudah menjadi seorang ayah akan dipanggil dengan sapaan Ayah ditambah nama anak sulungnya. 

Maka Ama Indah adalah panggilan untuk Nurdin Zebua yang punya anak sulung bernama Indah. Begitupun para Ibu di Nias. Istri Nurdin akan disapa dengan panggilan Ina Indah. 

Seketika itu juga saya berjalan menyusuri pasir lembut yang eksotis. Ama Indah ke Utara, saya ke Selatan. Suasana begitu mendukung saya untuk bersendiri. Menyambungkan rasa dengan semesta. 

"Kita kesorean. Air sudah pasang," ujarnya sebelum ia berjalan ke Utara.

Saya tidak berkomentar. Dalam hati saya agak merasa bersalah, sebab terlalu lama keasyikan di Museum Pusaka Nias. 

"Bila tidak sedang pasang, batas pasir merah bisa sampai jauh di sana," kata Ama Indah menunjuk jauh ke laut. 

Dengan begitu kita bisa berjalan lebih jauh lagi menyusuri pasir merah ke arah Barat, serta dapetin foto-foto pasir merah dengan luas bidang merah yang lebih besar.

Ombak besar-besar. Tingginya mungkin hampir dua meter. Warna ombaknya seperti nuansa lukisan hati gadis manis yang jatuh cinta pada angkasa. Pucuk ombak berwarna biru kehijauan dengan bagian bawah ombak berwarna merah kecoklatan. Gradasinya ke hijau biru membuatku terpana. 

Pantai yang indah. Lekuknya yang membentuk cekungan bila ditarik dari batas cakrawala. Jutaan pohon nyiur jangkung menjadi latar belakang berwarna hijau yang kontras dengan biru laut, merah pasir, dan biru langit.

Pantai ini mengingatkan saya pada Lac Rose. Danau Mawar di Senegal Afrika yang sempat saya kunjungi akhir 2011. Pada mulanya saya pikir tampilan fisik keduanya sama. Rupanya tidak. Lac Rose, yang merah adalah airnya, yang karena kadar garamnya sangat tinggi, maka sejenis ganggang tertentu yang tubuhnya kemerahan betah hidup di sana sehingga mewarnai Sang Danau. 

Berbeda dengan Pantai Merah Nias ini. Yang merah adalah pasirnya. Gawu Soyo. Gawu dalam bahasa Nias adalah pasir, Soyo adalah merah. Beberapa sumber mengatakan bahwa Gawu Soyo di Afulu ini warna merahnya berasal dari warna terumbu karang yang pecah berkeping menjadi butir-butir pasir. Bagi saya pertanyaan berlanjut: mengapa terumbu karangnya berwarna merah? 

Pantai Gawu Soyo ini relatif bersih dari sampah plastik. Sungguh saya bersyukur untuk hal ini dan sangat berharap di masa datang pantai ini tetap terjaga kebersihannya. 

Sejauh langkah saya, beberapa sisa flora terdampar di badan pantai. Butir-butir buah kelapa. Batang pohon. Serpih-serpih terumbu karang. Hanya saja warnanya putih bersih. 

Pada sebatang kayu pohon yang terdampar saya menambatkan badan. Sekitar 500 meter jarak saya dari titik awal memasuki pantai yang barangkali setara dengan 1.000 langkah. 

Melepas sepatu, membiarkan telapak kaki digelitiki ribuan butir pasir merah. Melangkah lebih ke dalam, pada area pasir yang dihempasi air asin, atau sekedar disentuhi buih-buih putih gelombang cairan garam.

Saat duduk kembali di atas kayu lapuk yang entah sudah berapa lama diombang-ambing ombak, arah pandang saya ke Barat. Sebuah layar lebar berwarna biru dengan posisi matahari di atas 45 derajat. Masih terik dan tajam sinarnya. Air laut di bawahnya keperakan pada panjang horison tertentu menerima pantulan sinarnya. 

Layar besar berwarna biru di angkasa, dipenuhi awan-awan yang membimbingku berimajinasi. Sebentar-sebentar menjadi lukisan. Sebentar-sebentar menjadi fakta bahwa koordinat di Nias ini hanya sebuah tutik kecil di jagad raya diantara planet-planet, tata surya. 

Manusia sedemikian kecil, namun sekaligus besar. Alam pikirnya, dunia tak kasat mata di dalam dirinya, demikian tak tertampung meskipun wadahnya adalah samudera raya. Begitu seterusnya. 

Pasir pantai masih merah. Bukan semerah mawar, namun merah seperti batu bata. Sepatu saya juga masih kuning. Tak ada yang berubah, kecuali mungkin posisi matahari yang menuju pukul 5 sore menjadi lebih kecil derajat sudutnya. 

Mendengarkan debur ombak, seperti mendengarkan debur detak jantung sendiri. Mereka seirama. Mengingatkan ke dahulu, saat kita dipeluk di perut Ibu. Sekeliling kita adalah air. 

Degub jantung Ibu seperti debur ombak purba yang menjadi tali jiwa antara kita dengan nenek moyang beserta leluhur yang tak henti menyertai meskipun zaman berganti. 

Ombak semakin tinggi. Pasang semakin membuat daya jelajah lidah ombak menjangkau tempatku duduk santai. Tali sepatu merah mudaku yang menjuntai tak ketinggalan terraih oleh buih putihnya. 

Untung sepatu kuningku bergeming diam. Buru-buru kuraih, kujinjing, dan langkahku kubiarkan kembali menuju hamparan tanaman rambat berwarna hijau. 1000 langkah lagi. 

Sebelum sepenuhnya kubalikkan badan serta tidak menoleh kembali ke belakang, saya sempatkan berdiam hening sesunya mungkin. Dalam hati saya berucap,

"Rahayu Sagunging Dumadi"

Bersyukur pada Allah SWT Tuhan Seru Sekalian Alam atas anugrah indahnya alam Indonesia.

"Yaahowu ....!"

"Sao Hagölö....."

Bawo Ganowo, 27 Oktober 2019.

Catatan: 

Ya'ahowu: bahasa Nias, sebagian mengartikan sebagai Selamat atau Hai sebagian lagi mengartikannya sebagai 'Semoga Diberkati' setara dengan Assalamu'alaikum, Syalom, Namaste, Rahayu.

Sao Hagölö: Terima kasih. Huruf ö dibaca e seperti pada kata 'senja'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun