Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Baduy ke Brussels

4 Agustus 2019   11:12 Diperbarui: 24 Januari 2021   16:19 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah mobil merah dari layanan aplikasi online berbasis aplikasi berhenti persis di depan pagar rumah. Seorang pemuda berusia sekitar 26 tahun bersama seoarang temannya berpamitan kepadaku sebelum memasuki mobil itu. Tujuannya stasiun Kebayoran. 

"Pamit dulu ya, Rambu. Insya Allah nanti lagi saya ke sini lagi bawain madunya"

Saya mengangguk. 

"Salam ya, Mursid, untuk Indra, untuk Inah, dan yang pasti untuk Ayah Mursid"

"Iya, Rambu, engke Mursid salamkeun. Mursid pamit dulu."

Mobil merah itu mundur menuju pertigaan gang, lalu belok kanan dan menghilang dari pandangan saya.

----

Pemuda berusia 26 tahun itu, punya wajah dan sorot mata yang ramah. Sedangkan temannya, lebih banyak diam, tersenyum, dengan wajah lebih berwibawa. Dua orang ini berbusana khas unik etnik. 

Yang satu mengenakan baju atasan berwarna hitam polos, dengan celana hitam polos juga, disertai ikat kepala. Yang satu lagi mengenakan kemeja Batik Baduy Luar warna biru. 

Telekungnya batik Baduy Luar warna hitam. Sedangkan celananya terbuat dari kain tenun Aros khas Baduy Dalam. Tas yang disandangnya adalah tas kepek. 

Pemuda ini tanpa saya tanya berkata,
"Rambu, saya hari ini pakai kemeja batik Baduy Luar, karena saya mengantar pesanan kain batik Baduy Luar. Biar bagus."

"Iya. Bagus begitu kok. Jadinya orang bisa lihat bukti kerennya batik Baduy," kata saya menanggapi setulus hati dan mengapresiasi kesederhanaan berpikir serta kecerdasan pemuda ini.

Mursid adalah nama pemuda berusia 26 tahun itu. Ia memiliki darah murni suku Baduy. Ayahnya, adalah tokoh yang cukup dihormati di kalangan sukunya, di Baduy Dalam. Ayah Mursid memiliki wajah yang sangat berkarakter. 

Begitu berkarakternya, sehingga dulu di sebuah titik ketika, saya tergerak membuat sketch/drawingnya menggunakan pensil. Ibunya, seorang perempuan Baduy Luar yang kemudian menjalani kehidupan setelah menikah sebagai orang Baduy Dalam. 

Saya beberapa kali bertemu dengan Mursid dalam berbagai kesempatan. Duluuu sekali di acara 'Reboan di Beranda', Jl Ahmad Dahlan Jakarta, saya bertemu Mursid dan Inah, istrinya.

Setelah itu beberapa kali di Sarinah, saat ada showcase kerajinan tangan Suku Baduy. Sempat pula ketika ada Family Gathering kantor Peruri, bertiga dengan Oerip Urup, kami ikutan membuka stand khusus etnik di bazaarnya di venue. 

Kemarin, Mursid datang ke tempat tinggal saya. Ketika saya tawari minum kopi, Mursid bilang, 

"Sudah ngopi tadi. Sudah makan juga. Tadi kebetulan mengirim pesanan batik ke rumah teman. Ternyata dia mau berangkat haji. Jadi teh ramai banget di rumahnya. Ada acara. Saya diajak makan, minum."

"Oh, gitu. Trus gimana dong. Air putih, gimana, Mursid?" 

"Iya, kalau air putih, boleh"

Ah. Saya senang sekali dengan kelugasan, kesederhanaan cara bertutur yang khas ini. Segelas air putih terhidang di meja kecil teras rumah.

"Ditampi nya, Rambu," ujar Mursid.

Mursid membuka bungkusan bawaannya dan menyerahkannya kepada saya. Ini ceritanya, seorang sahabat baik meminta tolong saya untuk dipesankan kerajinan Baduy untuk dibawa ke Brussels sebagai cindera mata pekan depan. Sahabat baik saya ini seorang pencinta bunga yang akan mengikuti acara FLOWER CARPET BRUSSELS. 

Dia akan membawakan keindahan Indonesia dalam rangkaian bunga di Eropa sana. Duuhh... saya senang banget! Disamping dia akan membawa keindahan bunga Indonesia, dan rangkaian janur, dia juga akan 'membawa Baduy' ke Brussels. 

"Gimana, Rambu, terasa gempa di Jakarta?" Tanya Mursid.

"Saya kebetulan sedang di luar kota, Mursid. Gempa sangat terasa. Gimana di Baduy?"

"Wah, kerasa goyang banget. Saya kebetulan lagi di hutan. Langsung lari ke rumah."

"Indra dan Inah gimana?" 

"Mereka di rumah, Rambu. Indra teriak-teriak panik. Penduduk kampung Campaka hampir semua merasakan gempanya"

"Aya imah nu rubuh?"

"Teu aya, Rambu, masih dalam lindungan Gusti Nu Agung"

Kemudian Mursid bercerita tentang rumah bilik adat Baduy yang dibangun menggunakan bahan-bahan alam. Kalau tidak salah saya mengingat, paling tidak ada 5 materi alam: bambu, kayu, rotan, batu, dedaunan. 

Tidak ada unsur logam. Tidak ada paku yang digunakan untuk menyambung/merekatkan bagian-bagian rumah. Ia juga bercerita tantang bagaimana aturan-aturan pembangunan rumah adat di Baduy. Terutama Baduy Dalam. 

Rumah-rumah adat bilik semuanya menghadap hanya ke dua arah: Utara dan Selatan. Kecuali rumah Puun, pimpinan mereka. Ada ruang luas yang menjembatani antara rumah Puun dan Bale, disebut alun-alun. Jarak antar rumah dipastikan cukup untuk jalan setapak berbatu-batu untuk 'lalu lintas' manusia di dalam kampung. 

Ah. Jadi membayangkan duduk di teras rumah adat Baduy saat hujan turun sambil menyesap air kopi Cap Oplet buatan Asmin Dulur Baduy Dalam saya. Kedua telapak tangan menangkup ke somong (gelas bambu) yang hangat untuk meredakan gigil dingin musim hujan. Sesekali, meningkahi sesapan kopi dengan patahan-patahan kasar kecil-kecil gula aren Baduy. 

Patahan dan serpihan itu adalah hasil pertemuan berupa benturan keras antara golok Baduy milik Asmin dengan bongkah utuh setangkup gula yang berwujud gabungan dua setengah elips bersatu. 

Mengingatkan saya bahwa untuk menjadi migunani marang liyan (berguna bagi sesama di alam semesta) seringkali kita harus melalui proses terbentur yang keras. 

Dan tentu saja: menyakitkan. Paling tidak, ada energi yang terlepas dari proses benturan itu. Dari bongkahan gula aren yang pejal keras, menjadi serpih-serpih manis penuh senyawa kimia ikatan Karbon, Hidrogen, Oksigen. C6H12O6.

Kombinasi gula aren yang manis dan kopi oplet yang pahit membentuk sebuah komposisi seperti lukisan yang seimbang antara sisi gelap dan sisi terang. Paduan yang pas untuk memandangi tetesan air hujan dari atap rumah yang terbuat dari rangkaian dedauanan pohon monokotil. 

Tetes-tetes itu adalah air langit membawa serta doa-doa leluhur dari Bapa Angkasa kepada Ibu Bumi. Lalu tercium petrikor: aroma khas hujan saat airnya menyentuh tanah. 

Imajinasi saya terhenti saat Mursid mengakhiri ceritanya. Kami sempat bertelepon via video call dengan seorang sahabat yang tertarik pada selendang tenun Baduy warna merah. Katanya untuk edisi Kemerdekaan RI ke-74. 

Setelahnya, dan setelah saya mengabadikan Mursid di @myredwall -dinding merah legendaris a la Rambu Ambu Siwi- Mursid dan temannya pun berpamitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun