"Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu! Ojok sampek ketemu!(2)"
Mantra supaya aku nggak ketemu Sang Ular.
Kebayang betapa jelalatannya aku di dalam air dingin pegunungan hutan Wonosalam.
Hingga akhirnya di kedalaman tertentu, kakiku menyentuh dasar kolam. Kayaknya 3,5 meter. Tanganku berhasil mencengkeram kaos Si Anak Pesantren yang Tenggelam. Kutarik cengkeraman kaos itu ke atas sebisaku. Dan, gila! Berat sekali rasanya. Aku merasakan ada tenaga lain dengan besaran yang sama -bahkan jauuuhh lebih kuat dariku - yang menarik anak itu. Ke bawah!Â
Cuk!
Napas yang kutahan mulai bobol pertahanannya. Aku bisa merasakan gelembung-gelembung udara tipis mulai bocor dari mulutku. Ahhh, tidaaak!Â
"Ya Allah Gusti, tulungono awakku iki.(3)"
Begitu rintihku. Bagaimana aku tidak meminta tolong dan nyenyuwun(4) bila pertarungan tarik menarik anak tenggelam ini terasa begitu lamanya dan seakan-akan tidak ada ujungnya?
Energiku melemah.Â
Kesadaranku berkurang.Â
Pandang mataku tinggal serpihan-serpihan kilat berwarna putih terang memenuhi segala ruang yang datang berulang-ulang. Splash! Air kolam pemandian bercahaya putih. Splash! Kulihat rambut anak itu melambai-lambai dipermainkan air kolam. Kepalanya lunglai lemas. Splash! Kudengar rintihanku sendiri: "Napasku, napasku .... "Aku bahkan nggak sadar apakah cengkeraman tanganku di kaos Si Anak Tenggelam itu masih kuat atau sudah terlepas.Â