Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru Tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Al Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud Al Khibti nama lainnya.
Dalam Bahasa Jawa, 'taruna' terlafazkan menjadi 'taruno' atau 'truno' (dengan bunyi 'o' seperti pada nama 'Soekarno') meskipun dituliskan sebagai 'truna'. Ingat 'truna' atau 'truno', maka aku jadi ingat nama tokoh Trunojoyo/Trunajaya. Pasti yang dimaksudkan adalah 'Tarunajaya', dari kata 'taruna' dan 'jaya', bermakna 'pemuda yang menang'.Â
Trunojoyo atau Raden Trunojoyo bergelar  Panembahan Maduretno adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I (putra dari Sultan Agung Hanyokrokusumo) dan Amangkurat II (putra Amangkurat I) pada masa kerajaan Mataram.Â
Dikisahkan, Pasukan Trunojoyo yang bermarkas di Kediri menyerang keraton Mataram pada tahun 1677. Akibat serangan ini Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC di akhir tahun 1679.
Ada juga nama Putuk Truno, tempat wisata air terjun di kaki gunung Welirang dan Arjuno, kawasan Prigen, kota Pasuruan, Jawa Timur. Putuk dibaca sebagai 'puthuk' dengan menggunakan huruf Jawa 'tha', artinya adalah sebuah tempat di dataran yang tinggi. Sedangan Truno dari kata'taruna'/'taruno'. Legenda tentang Putuk Truno ini bisa dibaca di artikel Kompasiana berjudul "Cinta Abadi Sri Gading Berakhir di Putuk Truno" (Mawan Sidarta, 21 Maret 2015).Â
Ringkasnya, legenda itu adalah kisah cinta antara Joko Taruno (atau Joko Truno, disebutkan sebagai putra Prabu Hayam Wuruk dari salah satu selirnya) dengan Sri Gading Lestari (remaja putri kalangan ningrat, putri dari Arya Wiraraja, Adipati Madura). Ayah Sri Gading Lestari tidak merestui hubungan percintaan itu sehingga Sri Gading Lestari disembunyikan di Coban Baung, kawasan Purwodadi, Pasuruan dengan diberi benteng gaib di sekelilingnya.Â
Atas nama cinta, Joko Taruno bertapa hingga memiliki kesaktian dan berhasil menembus benteng gaib yang memagari Sri Gading Lestari. Keduanya berhasil bertemu dan melarikan diri menuju air terjun yang kini dikenal dengan nama Air Terjun Putuk Truno. Mereka pun hidup happily ever after. Tak pelak, Air Terjun Putuk Truno mendapat predikat sebagai lambang keabadian cinta.Â
Itu legendanya. Meskipun perlu dicermati lagi tentang penyebutan Arya Wiraraja dan Prabu Hayam Wuruk dalam legenda di atas, karena, dirunut dari sejarah, timeline Arya Wiraraja sejajar dengan Raden Wijaya (kakek dari Prabu Hayam Wuruk). Arya Wiraraja wafat pada tahun 1316 Masehi sedangkan Hayam Wuruk lahir pada tahun 1334.Â
Sehingga terdapat selisih masa jeda sebesar 18 tahun, alias kedua tokoh itu 'tidak pernah bertemu dalam satu timeline'. Apalagi dari perhitungan empiris berdasarkan data pada Babad Pararaton bahwa menjadi Arya Wiraraja menjadi Adipati Sumenep pada usia 37 tahun, maka perkiraan tahun lahir Arya Wiraraja adalah pada 1232 Masehi. Sehingga terdapat jeda timeline dengan Prabu Hayam Wuruk sebesar 102 tahun alias satu abad. Â Â
Lah.
Kenapa jadi panjang ngebahas ini yak?