"Ini juga persoalan kebudayaan. Tapi kita tidak perlu mengimpor dari luar negeri. Karena nenek moyang kita yang berasal dari Tanah Bugis Makassar itu punya ucapan yang sangat indah, Pak Presiden. Katanya: 'Akininnawa patujukko mamadecceng kalawing ate. Berpikirlah kamu dengan hati yang jernih maka kemuliaan akan menyelimuti hatimu."
Abah DZI menyisipkan humor-humor untuk menyegarkan suasana. Begini lanjutnya,
"Hati yang indah. Hati yang indah. Tolong keplok, saya cuma diberi waktu lima menit."
Detik selanjutnya adalah Jokowi tertawa berderai disambung dengan tepuk tangan serta tepuk tangan membahana dari audience.Â
"Kesimpulannya, hati yang indah, hati yang bersih yang  diselimuti oleh kemuliaan, hati yang diselimuti oleh gagasan kebudayaan yang indah tidak punya waktu untuk berkelahi, tidak punya waktu untuk saling berfitnah, tidak punya waktu untuk jelek-jelekkan orang lain. Inilah Indonesia.Â
Lalu, dari sinilah dari hati yang bersih ini budaya kita ke depan adalah budaya akal sehat kolektif. Bahwa antara satu sama lain, tidak ada waktu untuk bertengkar, yang ada adalah kebersamaan dalam memuliakan rakyat dan memerdekakan rakyat dari segala macam ancaman.Â
Insya Allah, kalau kita benar-benar kreatif, kreatif dan kreatif, dan kebetulan saya sangat percaya pada Badan Ekonomi Kreatif (kata Abah sambil menengok ke arah Triawan Munaf) kreativitas kita harus ditunjukkan keluar dan kita harus merasa malu, merasa malu, merasa malu, kalau kita tidak kreatif."
Bukan Abah DZI kalau tidak membacakan puisinya sendiri saat beliau diminta untuk pidato atau memberikan sambutan. Kali ini yang diangkatnya adalah puisi super pendek berjudul Telur.
"Akhirnya, kerja keras tidak hanya cukup dengan janji-janji. Ada sebuah puisi yang terindah. Yang bunyinya begini. Ini tidak untuk siapa-siapa. Untuk budayawan sendiri. Untuk Intelektual sendiri. Yaitu bunyi puisi itu begini:
Telur
Dubur ayam yang mengeluarkan telur, lebih mulia dari mulut intelektual yang hanya menjanjikan telur."