Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku. Kalimat dalam Bahasa Jawa ini berasal dari tulisan Pakubuwono IV dalam karyanya berjudul Serat Wulangreh. Terjemahan bebas ala saya begini: pencarian akan ilmu hanya akan bermanfaat dan bermakna apabila ilmu itu diterapkan.Â
Dalam perjalanan pulang seusai mengikuti acara PRTB (Public Relation Tanpa Batas) yang dihelat oleh Forum Humas BUMN (wadah bagi berkumpulnya ide kreatif praktisi humas seluruh BUMN se-Indonesia) saya bikin janji dadakan ketemuan dengan Dian Oerip, seorang sahabat baik yang ternyata sedang janjian ketemuan dengan sahabat baiknya.Â
Sahabat baik Dian, Joe Ay, jauh-jauh datang dari Belanda untuk tinggal beberapa hari di Solo untuk sebuah keperluan. Di rumah makan bernuansa Jawa di seberang Mangkunegaran kami bertemu dan ternyata saya sudah dinanti untuk 'kembul bujono' bersama berlima, 'Kembul bujono' kami unik.Â
Di atas salah satu meja di rumah joglo itu telah terhidang di hadapan kami tampah/nyiru  berisi nasi berbentuk bola-bola plus segala rupa lauk pauk yang ditata dengan apik. Sego Golong, namanya. Kegemaran Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I) yang seringkali bergerilya dari satu desa ke desa saat perjuangannya yang gigih dan konsisten melawan Belanda.Â
Sambil bersantap, salah satu sahabat Dian menceritakan bahwa di seberang lokasi kami berada, ada sebuah area yang dinamakan panggung Gesang. Fungsi panggung itu adalah untuk pertunjukan seni dan namanya diambil dari pencipta lagu Bengawan Solo yang sangat terkenal itu.Â
Mendengar nama Gesang, ingatan saya melayang pada acara hari pertama PRTB di Lokananta. Di sana, foto Gesang di Lokananta yang terpajang bersama banyak tokoh lain seperti Waljinah, Wage Rudolf Soepratman, Titik Puspa, di koridor bangunan Lokananta.
Nah, ini, kesempatan buat saya nih. Pikir saya. Saya mau menjajal ilmu para pembicara di PRTB tentang story telling. Kali ini percobaan saya bukan dalam bentuk tulisan melainkan dalam media verbal.Â
Berkisahlah saya kepada mereka tentang Lokananta. Tentang bagaimana seluruh peserta PRTB dari 60 BUMN yang merasa tersihir saat mendengarkan suara rekaman master Bung Karno saat membaca naskah proklamasi dan saat diperdengarkan rekaman asli lagu Indonesia Raya. Bahkan ada yang terisak menahan tangis dan tak sedikit yang matanya berkaca-kaca.Â
Tentang ternyata Lokananta masih menerima pesanan pembutan kaset rekaman dari negara lain di Asia. Tentang Lokananta yang kini sedang berbenah diri untuk menjadi sebuah objek wisata sejarah disamping tugas-tugas dan fungsi korporasi lain yang diembannya. Tentang pengalaman kami berada di studio rekaman menyanyikan 4 lagu sekaligus rame-rame.Â
Dari 'Rumah Kita' - God Bless, 'Love of My Life' - Queen; Meraih Bintang - Via Valen; dan 'Bagimu Negeri' - Kusbini. The experience. Ternyata itulah bekal saya dalam menyusun story telling. Jika hanya karena 'katanya', saya tidak akan punya cukup energi untuk memiliki kata-kata seperti ketika saya merasakannya sendiri. Â
Sebenarnya ini semacam tantangan bagi diri saya sendiri menguji apakah 'story' yang saya 'telling' kan cukup menarik atau bikin bosan. Seberapa besar atensi mereka saat saya mengisahkan pengalaman berada di Lokananta. Semenggugah apa kisah Lokananta yang saya sampaikan melalui komunikasi verbal santai ini.Â
Meskipun saya menyadari, bahwa kerinduan seorang Joe Ay tentang Indonesia pasti berpengaruh sangat besar pada interaksi verbal yang terbangun diantara kami. Barangkali akan berbeda bila saya berkisah tentang Lokananta kepada sahabat-sahabat Humas saya di PNRI (BUMN yang menjadi induk perusahaan bagi Lokananta). Â
Dan, benarlah apa yang terjadi. Joe Ay, tamu kami yang telah 30 an tahun menetap di Belanda kepincut hatinya ingin mengunjungi Lokananta. Siang itu juga. Padahal, ada dua hal yang belum saya ceritakan kepada mereka yang menurut saya adalah jantung hati kisah tentang Lokananta. Yaitu tentang arti Lokananta dan tentang gamelan Lokananta.Â
Barangkali memang demikian seharusnya. Dua topik itu harus mereka temukan sendiri setelah mereka berkunjung ke sana. Segera saja saya telepon seorang rekan di PNRI untuk mendapatkan contact person di Lokananta. Sayang sekali hari itu (Sabtu, 1 Desember 2018), sedang ada acara corporate gathering Lokananta ke Tawangmangu. Waduh. Kalau sudah begini, hanya semesta sendiri yang tahu harus berpihak pada siapa. Begitu kelakar Dian Oerip.Â
Begitulah. Setelah beberapa jam berpamitan, saya dapat kiriman WA dari Dian Oerip  berupa foto dia sedang berada di studio rekaman Lokananta dengan sudut pengambilan yang apik menonjolkan panel-panel control dengan view luasnya studio rekaman dimana dulu musisi legendaris merekam karyanya. Dan beberapa foto lain yang menurut saya sangat historical.Â
Foto dengan background teks lagu Indonesia Raya dan gamelan. Satu yang saya syukuri adalah bahwa hasil belajar saya di PRTB telah membuahkan hasil. Dengan latihan praktek story telling, sahabat saya akhirnya pun tergerak untuk mengunjungi Lokananta.Â
                                                                          ***Â
Lokananta memiliki arti seperangkat gamelan di kahyangan yang dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh. Hanya ksatria yang mendapatkan perkenan dewa saja yang dianugerahi gamelan tersebut. Itu definisinya. Dalam kehidupan nyata, ada sebuah gamelan yang diberi nama gamelan Lokananta.Â
Gamelan tersebut saat ini disimpan dan disemayamkan di salah satu ruangan di Lokananta. Nama lain gamelan ini adalah "Sri Kuncoro Mulyo". Sri, berasal dari Bahasa Sanskerta, yang sudah menjadi kata serapan dalam Bahasa Indonesia, memilik arti gelar kehormatan bagi raja atau orang besar dan sebagainya, Â atau 'yang mulia'; Kuncoro, artinya tegas atau pekerjaan yang selesai dengan sempurna; Mulyo, mulia.Â
Gamelan milik R. Moelyosoeprapto ini berasal dari priyagung trah dalem di Yogyakarta Hadiningrat sejak tahun 1920. Gamelan ini dibuat pada masa Pangeran Diponegoro (1785 -- 1855). Disemayamkan di Studio Lokananta sejak 12 Oktober 1984. Bila gamelan ini ditabuh, maka tembang dari surga lah yang akan berkumandang.Â
Saat waktu kunjungan akan berakhir, dan agak terburu-buru, saya menemukan sebuah sudut dengan  plang papan coklat bertuliskan aksara Jawa. Aksara itu terbaca sebagai "Sri Kuncoro Mulyo". Kuterjemahkan saja sebagai 'dialah yang termuliakan, yang tegas, dan telah menyelesaikan tugasnya dengan paripurna, dan menuju kemuliaan'. Ah, indah sekali.Â
Di sekelilingnya kulihat gamelan yang legendaris itu. Kunikmati momentum saat memandangi gamelan Lokananta satu per satu berlama-lama. Bonang, kendang, demung, saron, slenthem, gender, gong, gambang, rebab, siter, suling, kempul. Samar-samar, wajah Sunan Kalijogo yang teduh menyeruak. Sayup-sayup kudengar tembang surga versi saya.
"Lir ilir, lir ilir, tandure wus sumilir
Dak ijo royo-royo, dak sengguh temanten anyar
Cah Angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro"
Saya nggak tahu tembang surga apa yang didengar sahabat saya, Dian Oerip, saat ia dua hari kemudian pun  ke sana".
Blok M - Jakarta, 7 Desember 2018.
Kembul bujono: bahasa Jawa, artinya bersantap bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H