Menemukan tulisan lama. Senyum saya mengembang karena dua hal, Anak Lanang sekarang (16 tahun) sudah terinfeksi kegemaran corat-coret (Manga adalah pilihan alirannya), Alhamdulillah; dan sebuah trofi mungil saat bangku akhir SD untuk juara membaca di ajang antar sekolah menghiasi lemari kaca. Trofi itu sempat dia boyong ke asrama sewaktu SMP untuk jadi motivatornya dan hiasan lemari kayunya.
Tulisan itu, begini ....
26 Juli 2013
Hari Puisi Nasional. Hari ini, 26 Juli. Tujuh atau delapan tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang berbeda, kurasa, di tanganku sebuah buku terbuka pada halaman dengan sebuah puisi tercetak diatasnya. Di hadapanku, Anak Lanang, kala itu kelas 2 atau 3 SD, memandangku dengan bertopang dagu. Menatapku tanpa berkedip saat kubacakan untuknya puisi dari buku pelajaran Bahasa Indonesia miliknya.
“Sekarang, Mas coba ya...",
ujarku padanya.
Buku cetak itu kuangsurkan kepadanya. Dengan antusias dia mencoba. Kuikuti setiap kata yang dilantunkannya. Not bad. Dia bisa. Dia, Semata Wayangku itu, sedari balita sudah terbiasa mendengarkan penekanan intonasi, warna suara yang berbeda dan penuh ekspresi saat kubacakan dongeng sebelum tidur dari serial buku Poldi.
Esok harinya, Si Chubby 7 tahun itu membawa oleh-oleh celoteh sepulang sekolah.
"Mama, tadi di sekolah, Ibu Guru nanya, 'Siapa yang bisa baca puisi?'. Aku acung jari, Ma",
katanya dengan mata berbinar.
"Oh ya? Bagus dong, Mas. Mama seneng, Mas mau mencoba",
timpalku mengacak rambutnya.
"Iya, Ma. Abis itu, temen-temenku banyak yang mau baca puisi".
Dia mungkin tidak atau belum menunjukkan kecintaan pada goresan pensil sepertiku. Tapi aku tahu, intonasi dan pengucapan-katanya, kuat dan berkarakter. Bekal yang bagus, Nak. Belakangan, muhadhoroh rupanya menarik minatmu dengan kuat.
Be there, Billy, be yourself.
Ibu hanya membukakan pintu-pintu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H