Menurut penulis, kurang tepat apabila dianggap sebagai ‘bentuk pemerasan terhadap masyarakat kecil’ karena Kelas miskin (450-900 VA) gratis, kemudian Kelas bawah (1.300-2.200 VA) hanya Rp 10.000 per bulan. Yang dianggap kelas bawah ini, kemungkinan besar secara riil pada umumnya akan mampu jika hanya ‘menabung’ iuran Rp 10.000 per bulan. Apalagi masyarakat kelas-kelas diatasnya. Bahkan apabila masyarakat berkenan untuk memilah sampah/menjadi anggota aktif Bank Sampah, otomatis sudah tidak akan kena retribusi. Bukankah itu sudah sangat baik.
Ali juga mengatakan mengenai pengelolaan sampah tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 Pergub No 77 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkungan Rukun Warga dimana bunyi pasal tersebut menjelaskan pengelolaan sampah lingkungan RW dilaksanakan oleh bidang pengelolaan sampah dalam kepengurusan RW yang ditunjuk oleh ketua RW. Menurutnya, itu berarti di setiap lingkungan Rukun Warga (RW) di Jakarta sudah ada petugas yang mengurusi soal sampah rumah tangga tersebut. Maka dari itu, beliau menilai bahwa penarikan retribusi sampah rumah tangga dengan alasan meningkatkan kepedulian masyarakat sangatlah ngawur.Â
Beliau juga menyebutkan bahwa Dinas Lingkungan Hidup sudah diberikan anggaran untuk mengurus soal sampah, sehingga menurutnya DLH fokus saja untuk meningkatkan pelayanan dan membangun fasilitas untuk pengelolaan sampah di lingkungan RW (Ibrahim, 2024).
Dalam hal ini, boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk mengurus sampah di Jakarta semakin tinggi dan tidak cukup hanya dengan mengandalkan anggaran yang ada. Adanya berbagai kemudahan akses mendapatkan makanan minuman saat ini, telah menyebabkan sampah semakin cepat menumpuk dibandingkan dengan 1-2 dekade yang lalu. Disini menunjukkan pentingnya komunikasi antara fraksi-fraksi tersebut dengan DLH.
Sebagaimana Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi yang telah mengajak Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto dan anggota Komisi IV untuk menerapkan bijak dalam konsumsi dan setop boros pangan. Dimana hal itu dilakukan dalam rangka penerapan pola konsumsi pangan, beragam, bergizi seimbang, dan aman (B2SA). Tujuan gerakan itu meningkatkan kesadaran dan membudayakan pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman untuk hidup sehat. Kampanye itu bertujuan untuk mengurangi sampah makanan/ food loss and waste, menjaga stabilisasi harga pangan dan menumbuhkan toleransi kepada masyarakat yang lebih membutuhkan (finance.detik.com, 2024).
Pemerintah-pemerintah daerah di kota Bandung, Yogyakarta, kota Batu, dan Bali saat ini telah bersemangat untuk berusaha mengutamakan pemilahan sampah seperti di Jepang. Di kota Bandung, tercatat ada 7 kecamatan yang telah berhasil menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengelola sampah organik (Beritainspiratif.com, 2024). Menteri LH saat ini juga berencana merombak penilaian Adipura, dimana komponen sampah nilainya 75 persen.
Penjabat Wali Kota Bandung, A. Koswara bahkan memberikan apresiasi kepada 7 kecamatan yang telah berhasil meningkatkan Kawasan Bebas Sampah (KBS) menjadi lebih dari 50 persen. Kecamatan yang mendapatkan apresiasi penghargaan diantaranya (Beritainspiratif.com, 2024): Panyileukan (seluruh kelurahan di kecamatan ini sudah mencapai 100 persen KBS); Bandung Kidul (34 RW telah menjadi KBS); Cibeunying Kaler (60 persen wilayahnya atau 28 dari 46 RW sudah KBS); Arcamanik (61 persen atau 33 dari 54 RW telah menjadi KBS); Sumur Bandung; Bojongloa Kidul (53 persen wilayah atau 24 dari 45 RW telah menjadi KBS); dan Gedebage.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq saat melakukan peninjauan kerja di TPST Piyungan, juga menegaskan bahwa keberadaan bank sampah menjadi solusi untuk permasalahan sampah di DIY. Beliau meminta kepala dinas untuk segera membangun dan membentuk bank sampah di hulu. Selain itu, perlu adanya penyuluh lingkungan hidup yang bertugas untuk mengedukasi masyarakat terkait pilah dan pilih sampah. Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), 60 persen sampah di DIY adalah food waste atau sisa makanan (radarjogja.jawapos.com, 2024).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantul Bambang Purwadi menyebutkan bahwa anjuran menambah bank sampah sedang berproses. Mereka akan menyiapkan penyuluh LH ke masyarakat yang biayanya akan diupayakan dari CSR. Beliau pun akan meminta kepada restoran di Bantul agar dapat secara mandiri mengelola sampahnya (radarjogja.jawapos.com, 2024).
Terkait dengan penarikan retribusi sampah rumah tangga yang beralasan meningkatkan kepedulian masyarakat, mungkin kita masih ingat dengan video rumah dikirimi satu truk sampah yang viral di media sosial. Rupanya hal itu sengaja dilakukan petugas kebersihan karena kelakuan si pemilik rumah. Untuk diketahui, iuran sampah merupakan hal yang biasa ada di perumahan penduduk. Warga yang sudah bayar, hanya perlu menaruh sampah di depan rumah/tempat sampah yang sudah disediakan. Nantinya akan ada petugas yang membereskannya (jatim.tribunnews.com, 2024).
Sistem tersebut juga berlaku di Malaysia. Namun sayangnya ada saja orang yang tidak mau bayar tapi ngotot menitipkan sampah. Hasilnya sebagaimana viral di sosial media, video yang menunjukan detik-detik petugas kebersihan memberi 'hadiah' berupa sampah yang dikembalikan ke pemilik rumah yang enggan bayar iuran. Terpantau video tersebut sudah ditonton lebih dari 800 ribu kali. Petugas kebersihan memutuskan untuk mengembalikan sampah ke rumah tersebut dengan alasan, pemilik rumah telah berjanji akan membayar dalam beberapa hari. Namun saat petugas tersebut menelepon, malah diabaikan (jatim.tribunnews.com, 2024).