Mereka berenam segera sibuk membagi tugas membuat mading. Ada yang mencetak tulisan untuk mading, menggunting karton dan manila, menempel hiasan dengan kertas kado, membentuk hiasan dengan origami, menempel tulisan-tulisan yang telah di-print, serta menempelkan hiasan biji-bijian dan daun-daunan.
“Masih kurang tulisannya...” celetuk Dhifa beberapa saat kemudian. “Ohya, Ira, kamu belum keluarkan tugasmu ya?!”
Ira dengan malu-malu mengeluarkan sebuah tulisan tangan yang dibuatnya dengan guratan-guratan seni yang indah dan sudah diberi hiasan kertas kado. Tinggal ditempel ke karton mading. Santi merebutnya lalu membacanya keras-keras, membuat Ira bertambah merah padam pipinya.
“Jika ada seratus orang yang berjuang dalam kebaikan, pastikan kamu ada di dalamnya; jika ada sepuluh orang saja yang berjuang dalam kebaikan, pastikan kamu termasuk di dalamnya; bahkan jika hanya ada 1 orang yang berjuang dalam kebaikan, pastikan bahwa itu adalah kamu.”
“Bagus kok Ira. Kamu dapat darimana?” tukas Dhifa tak sabar.
“Ummiku yang beri usul,” jawab Ira singkat. “tetapi ummi tak ingat kata-kata itu didapat darimana...”
Deni dan Roni sontak terbahak-bahak. Riyo dan Santi tersenyum geli.
“Ya sudah, tak apa. Siapatahu ada guru atau teman kita yang tahu, bisa ditambahkan footnote, tentang siapa pembuatnya,” usul Dhifa. Teman-temannya pun setuju dengannya.
***
Masih tersisa tempat kecil di pojokan mading. Mereka berenam kebingungan mau diisi apa. Akhirnya mereka semuanya memilih untuk keluar rumah dan memandangi taman kecil di rumah Riyo sambil menikmati cemilan Roni. Mereka nampak kehabisan akal untuk mengisi ruang kecil di mading yang sudah nyaris sempurna itu.
Tiba-tiba bundanya Riyo mengejutkan mereka dengan kepala nongol keluar dari pintu rumah, “Eh, anak-anak! Bagaimana kalau kalian buat tulisan kecil tentang ajakan membuat resolusi? Nanti diberi contoh resolusi-resolusi kecil yang kalian berenam pikirkan...”
“Resolusi itu seperti apa Bunda?”