Di depan loji
Saya terkenang suatu petang usai sholat Maghrib di masjid Malioboro. Saat saya mengenakan kaos kaki dan sepatu, saya berbincang sejenak dengan gadis penjaga sepatu di beranda masjid. Di sebelah gadis itu duduk seorang nenek yang sehat. “Temannya mana?” ia tersenyum mengamati saya. Saya jawab saya pergi sendirian. Ia bilang agar saya hati-hati. Saya mengangguk dan berlalu. Setengah jam kemudian, saya tertegun melihat nenek itu berjalan pelan sambil menadahkan tangan di sekitar stasiun Tugu. Seribu delapan ratus detik saja, dan saya merasa tertipu sekaligus marah. Saya tak tahu kenapa. Saya tak memberi sepeser pun uang pada pengemis manapun sejak setahun belakangan. Mungkin saya kesal karena bisa tertipu pada penampilan nenek sehat nan ramah yang saya pikir seorang pedagang di Malioboro. Ah Dunia, benarkah ada malaikat yang menjelma dalam wujud pengemis tua?
[caption id="attachment_332480" align="aligncenter" width="328" caption="Penjaja sate dan seni instalasi di Malioboro"]
[caption id="attachment_332481" align="aligncenter" width="382" caption="Pasangan pengamen "]
[caption id="attachment_332482" align="aligncenter" width="560" caption="Pelukis Malioboro"]
[caption id="attachment_332483" align="aligncenter" width="560" caption="Wangi daging bakar"]
Betapa pun sumpek dan ruwetnya Malioboro, jalan ini tetap istimewa. Saya merasa bahwa sebuah perjalanan tak harus selalu menyenangkan. Seperti hidup yang mustahil selalu mulus. Ternyata saya butuh juga aroma sampah, hujan dadakan, pertanyaan kepo pengemudi becak, suara sumbang pengamen transgender dan keramaian orang-orang yang tak saya kenal. Betapa membosankan bila hidup hanya berisi hal-hal yang indah dan menyenangkan.
Akhirnya, saya akui foto-foto ini saya jepret dengan kerangkeng transparan. Mungkin seperti mengenakan jubah gaib Harry Potter. Saya menuruti nasihat nenek pengemis itu untuk berhati-hati. Ternyata, saya menjaga jarak dengan orang-orang Malioboro. Saya tak lebih dari turis biasa. Inikah yang disebut jadi orang asing di negeri sendiri?
[caption id="attachment_332484" align="aligncenter" width="560" caption="Pagi di stasiun Tugu"]
Referensi:
“Monarki Yogya” Inkonstitusional?, Penerbit Buku Kompas, 2011
Orang-Orang Malioboro, Eko Susanto, 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H