Mohon tunggu...
Sitta Taqwim
Sitta Taqwim Mohon Tunggu... profesional -

Pejalan, pemintal kata, tukang potret, pecinta Bangunan kuno, gunung dan matahari.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Orang-orang Malioboro

20 April 2014   19:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di depan loji

Saya terkenang suatu petang usai sholat Maghrib di masjid Malioboro. Saat saya mengenakan kaos kaki dan sepatu, saya berbincang sejenak dengan gadis penjaga sepatu di beranda masjid. Di sebelah gadis itu duduk seorang nenek yang sehat. “Temannya mana?” ia tersenyum mengamati saya. Saya jawab saya pergi sendirian. Ia bilang agar saya hati-hati. Saya mengangguk dan berlalu. Setengah jam kemudian, saya tertegun melihat nenek itu berjalan pelan sambil menadahkan tangan di sekitar stasiun Tugu. Seribu delapan ratus detik saja, dan saya merasa tertipu sekaligus marah. Saya tak tahu kenapa. Saya tak memberi sepeser pun uang pada pengemis manapun sejak setahun belakangan. Mungkin saya kesal karena bisa tertipu pada penampilan nenek sehat nan ramah yang saya pikir seorang pedagang di Malioboro. Ah Dunia, benarkah ada malaikat yang menjelma dalam wujud pengemis tua?

[caption id="attachment_332480" align="aligncenter" width="328" caption="Penjaja sate dan seni instalasi di Malioboro"]

139797221587639229
139797221587639229
[/caption]

[caption id="attachment_332481" align="aligncenter" width="382" caption="Pasangan pengamen "]

13979722691070455088
13979722691070455088
[/caption]

[caption id="attachment_332482" align="aligncenter" width="560" caption="Pelukis Malioboro"]

13979723052093598385
13979723052093598385
[/caption]

[caption id="attachment_332483" align="aligncenter" width="560" caption="Wangi daging bakar"]

139797233155202370
139797233155202370
[/caption]

Betapa pun sumpek dan ruwetnya Malioboro, jalan ini tetap istimewa. Saya merasa bahwa sebuah perjalanan tak harus selalu menyenangkan. Seperti hidup yang mustahil selalu mulus. Ternyata saya butuh juga aroma sampah, hujan dadakan, pertanyaan kepo pengemudi becak, suara sumbang pengamen transgender dan keramaian orang-orang yang tak saya kenal. Betapa membosankan bila hidup hanya berisi hal-hal yang indah dan menyenangkan.

Akhirnya, saya akui foto-foto ini saya jepret dengan kerangkeng transparan. Mungkin seperti mengenakan jubah gaib Harry Potter. Saya menuruti nasihat nenek pengemis itu untuk berhati-hati. Ternyata, saya menjaga jarak dengan orang-orang Malioboro. Saya tak lebih dari turis biasa. Inikah yang disebut jadi orang asing di negeri sendiri?

[caption id="attachment_332484" align="aligncenter" width="560" caption="Pagi di stasiun Tugu"]

1397972368333119940
1397972368333119940
[/caption]

Referensi:

“Monarki Yogya” Inkonstitusional?, Penerbit Buku Kompas, 2011

Orang-Orang Malioboro, Eko Susanto, 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun