Saya tak suka keramaian. Melakukan perjalanan sendirian ke sebuah kota yang sunyi, saya anggap terapi sepi yang menyenangkan. Orang-orang mungkin takut kesepian. Kesepian adalah penyakit abad ini yang sesungguhnya paling ditakuti. Saya mencari sunyi, semata bukan lantaran saya hobi semedi. Di kota ini, hiruk pikuk pun seolah dilingkupi hening. Saya seperti menonton sebuah film bisu.
Darwis Khudori, seorang asli Kotagede dan kini mengajar di Universitas Le Havre Prancis. Dalam bukunya “Orang-Orang Kotagede”, ia bercerita tentang kawula alit yang kalah. Setting cerpen-cerpennya di buku itu terkesan suram, jadul, dan sungguh bertolak belakang dengan gemerlap metropolitan masa kini. Tak heran karena cerita-cerita itu ditulis pada tahun 90-an. Bahasa dan plot yang disuguhkan Darwis sungguh sederhana. Lewat kenangan-kenangan masa kecilnya akan Kotagede, dibumbui masalah lazim macam kemisikinan, perceraian, atau kawin muda, kita mungkin cenderung menganggap ceritanya remeh. Jangan dibandingkan dengan cerpen masa kini yang settingnya kebanyakan di kafe, bandara, galeri, lengkap dengan atribut hedonisme lainnya. Membaca buku ini usai menyusuri sendiri lorong-lorong di Kotagede, saya jadi rindu “srunthulan” lagi ke sana.
[caption id="attachment_355565" align="aligncenter" width="432" caption="Sebuah pintu di Jalan Mondorakan"]
[caption id="attachment_355567" align="aligncenter" width="432" caption="Kuno dan kini diparkir bersama"]
[caption id="attachment_355568" align="aligncenter" width="432" caption="Sebuah toko di jalan Kemasan"]
[caption id="attachment_355569" align="aligncenter" width="432" caption="Jogging sambil cuci mata di pasar Kotagede"]
Satu hal yang saya ingat, saya tak menemukan Alfamart-Indomart dan “mart-mart”-lainnya-perusak-tata-kota yang jamak saya temui di Depok. Selama saya berkeliling di Kotagede seputar makam, alun-alun pasar, dan rumah-rumah kuno, tak sepotong pun ritel modern itu saya temui. Betapa menyenangkan!
Kotagede memang bagian dari Yogyakarta, tapi saat berada di sini, saya seolah menjejak kota lain. Kotagede ibarat kota antah-berantah yang kontras dengan Yogyakarta. Saya tak terkesan lagi dengan Malioboro yang semrawut. Seorang petugas TransYogya mengernyitkan dahi ketika saya bilang mau ke makam di Kotagede. Mungkin baginya aneh, seorang perempuan di siang bolong mau ke makam sendirian. Mestinya saya ke makam saat tengah malam mungkin, ya?
Satu Sabtu, saya tiba Yogyakarta jam delapan pagi. Tanpa mandi, hanya berganti baju di toilet stasiun Tugu, saya melangkah menuju halte TransJogja, tepatnya halte Malioboro 1. Dengan Rp.3.000, saya naik bus 2A lalu turun di halte Kehutanan. Saya berjalan kaki menuju Kotagede. Matahari di jam sembilan pagi sudah sangat membakar. Perut berontak. Untung saya menemukan warung soto yang ramai pengunjung. Terduga enak! Benar saja, seruputan pertama kuah soto yang bening, rasanya bahagia sangat.
Soto Lumayan Kang Sarman di Kotagede ini rasanya jauh dari lumayan, alias super sekali! Salahsatu karakter khas orang Endonesa adalah demen menamai merek dagangnya dengan nama yang membumi, semacam rumah makan Padang Sederhana. Dan seperti orang Endonesa pada umumnya, kita akan lebih tertarik pada figur yang membumi, seperti Jokowi misalnya, ya tho?
[caption id="attachment_355570" align="aligncenter" width="432" caption="Soto Lumayan Kang Sarman di Kotagede yang rasanya "]
[caption id="attachment_355571" align="aligncenter" width="432" caption="Semangkuk soto lengkap dengan "]
Suwiran ayam dalam semangkuk soto ini cukup banyak, lengkap dengan potongan perkedel, bihun, kol dan tomat. Aneka karbohidrat dalam satu mangkuk. Wareg bin marem, pemberontakan di perut saya tertumpas sudah. Kaki ini siap mengukur jalanan Kotagede. Di siang membakar itu, suasana kian gaduh dengan arak-arakan kampanye partai. Saya singgah ke makam Panembahan Senapati, pabrik coklat Monggo, situs purbakala bekas benteng, dan makam kerabat raja.
[caption id="attachment_355572" align="aligncenter" width="432" caption="Rumah pink di depan pabrik Coklat Monggo"]
[caption id="attachment_355573" align="aligncenter" width="288" caption="Pulang sekolah melintasi Hasta Rengga, makam kerabat raja"]
[caption id="attachment_355574" align="aligncenter" width="288" caption="Pintu menuju "]
[caption id="attachment_355575" align="aligncenter" width="415" caption="Pelataran Masjid Kotagede"]
[caption id="attachment_355576" align="aligncenter" width="432" caption="Jendela bilik kuncen makam"]
[caption id="attachment_355577" align="aligncenter" width="432" caption="Ikan raksasa penunggu Sendang Saliran Putri"]
Makam Panembahan Senapati siang itu sepi. Saya singgah di pelataran Masjid Kotagede sebelum menuju makam. Di bangsal sebelum makam, beberapa kuncen leyeh-leyeh sembari mendengarkan berita politik dari radio transistor. Saya enggan masuk makam karena harus berganti kostum khusus. Saya memilih melihat-lihat pemandian putri raja saja. Ternyata di salah satu kolam pemandian, ada ikan sebesar betis orang dewasa. Airnya hijau karena kolam penuh lumut dan ganggang. Saya membayangkan apa iya putri zaman dahulu mandi bareng ikan ini? Atau lantaran kolam ini tak terawat saja? Apa itu ikan keramat? Saya bergidik sekaligus sedih.
[caption id="attachment_355578" align="aligncenter" width="320" caption="Gerbang menuju area makam dan sendang"]
[caption id="attachment_355579" align="aligncenter" width="325" caption="Pintu menuju makam Senapati"]
[caption id="attachment_355580" align="aligncenter" width="320" caption="Gerbang makam Senapati"]
[caption id="attachment_355582" align="aligncenter" width="317" caption="Aksara jawa di monumen depan pasar Kotagede"]
[caption id="attachment_355583" align="aligncenter" width="422" caption="Makam Senapati"]
[caption id="attachment_355584" align="aligncenter" width="432" caption="Bangsal Pengapit Ler di depan makam Senapati"]
[caption id="attachment_355585" align="aligncenter" width="422" caption="Kuncen makam mengaso sambil mendengarkan berita politik dari transistor"]
[caption id="attachment_355586" align="aligncenter" width="448" caption="Bagian dalam Sendang Saliran Putri"]
Matahari yang pemarah biasanya luluh dirayu air mata hujan. Seperti saya yang moody, langit yang tadinya bikin ubun-ubun berasap, mendadak muram. Sebentar lagi hujan. Saya putuskan cukup mengukur jalanan Kotagede. Saya harus kembali ke Malioboro yang sesak, mencari penginapan. Tepat usai saya masuk ke Homestay Dewi, hujan deras mengguyur Ngayogyakarta Hadiningrat.
Minggu jam enam pagi, saya sudah di halte TransYogya menuju Kotagede lagi. Kang Sarman si penjaja soto bilang, sepanjang jalan Kemasan dan Mondorakan bertebaran bangunan-bangunan kuno nan cantik. Kotagede memang wilayah kota tua. Kabarnya, ada 170 obyek cagar budaya di Kotagede. Oh, hampir lupa.. Kotagede juga merupakan pusat kerajinan perak. Tapi berhubung saya tak doyan wisata belanja, target buruan saya hanya foto-foto bangunan tua. Pagi itu, saya ingin menjepret lebih banyak bangunan kuno yang kemarin terlewat karena kepanasan.
[caption id="attachment_355587" align="aligncenter" width="464" caption="Pertigaan jalan Kemasan ini jadi spot favorit saya"]
[caption id="attachment_355588" align="aligncenter" width="461" caption="Pulang dari pasar"]
[caption id="attachment_355591" align="aligncenter" width="448" caption="Dokar melintas di pertigaan jalan Kemasan"]
[caption id="attachment_355592" align="aligncenter" width="448" caption="Sebuah rumah di dekat pasar Kotagede"]
[caption id="attachment_355593" align="aligncenter" width="448" caption="Iring-iringan remaja bersepeda di Minggu pagi di jalan Kemasan"]
[caption id="attachment_355594" align="aligncenter" width="448" caption="Penjual belut dan lele di jalan Kemasan "]
[caption id="attachment_355595" align="aligncenter" width="448" caption="Bersepeda mini di Minggu pagi"]
Pasar tradisional selalu menarik buat saya. Tak ada yang tak bisa dipotret dari sebuah pasar tradisional. Seperti saya bilang tadi, saya tak suka keramaian kota, tapi saya tak keberatan dengan pasar tradisional. Sejak saya kecil, ibu saya selalu bilang, kunjungi pasar tradisional di sebuah kota. Di pasar tradisional, kita bisa melihat karakter orang-orang penghuni kota itu.
[caption id="attachment_355597" align="aligncenter" width="448" caption="Pasar Legi Kotagede"]
[caption id="attachment_355598" align="aligncenter" width="448" caption="Photo Panorama di pasar Kotagede, lokasi favorit para bapak menunggu istri yang berbelanja"]
[caption id="attachment_355599" align="aligncenter" width="448" caption="Ikut ibu berjualan di pasar "]
[caption id="attachment_355600" align="aligncenter" width="448" caption="Toko gula di pasar Kotagede"]
[caption id="attachment_355601" align="aligncenter" width="299" caption="Parkir"]
[caption id="attachment_355602" align="aligncenter" width="299" caption="Baca koran sembari menunggu pelanggan"]
[caption id="attachment_355603" align="aligncenter" width="299" caption="Toko alat pancing "]
Sehari sebelumnya saya tak sempat singgah di jalan Mondorakan. Pagi itu, jalanan cukup sepi. Aktivitas terpusat di Pasar Kotagede. Sepeda-sepeda berseliweran di kota ini. Di salah satu sudut pasar, parkiran sepeda membludak. Mayoritas jenis sepeda yang diparkir bukan sepeda modern, tapi model onthel yang antik itu. Di kota ini, manusia masa kini masih menghargai ia yang kuno. Di Kotagede, roh raja-raja, kawula alit, dan sepeda hadir beriringan. Ah, sungguh saya cinta kota kuno ini!
[caption id="attachment_355604" align="aligncenter" width="448" caption="Bersiap pergi"]
[caption id="attachment_355605" align="aligncenter" width="448" caption="Transaksi para ibu di Jalan Mondorakan"]
[caption id="attachment_355607" align="aligncenter" width="448" caption="Melintas rumah unik dengan lukisan dinding"]
[caption id="attachment_355608" align="aligncenter" width="448" caption="Pulang dari pasar bersama ibu"]
[caption id="attachment_355609" align="aligncenter" width="448" caption="Rumah unik yang sedang direnovasi di Jalan Mondorakan"]
[caption id="attachment_355611" align="aligncenter" width="448" caption="Sebuah pintu entah jendela?"]
[caption id="attachment_355612" align="aligncenter" width="448" caption="Sebuah rumah kosong, sepeda dan bendera partai"]
[caption id="attachment_355606" align="aligncenter" width="448" caption="Pintu sepuluh"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H