Mohon tunggu...
Sitta Taqwim
Sitta Taqwim Mohon Tunggu... profesional -

Pejalan, pemintal kata, tukang potret, pecinta Bangunan kuno, gunung dan matahari.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kotagede: Kota Sepeda, Raja, dan Kawula

27 Agustus 2014   21:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:22 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tak suka keramaian. Melakukan perjalanan sendirian ke sebuah kota yang sunyi, saya anggap terapi sepi yang menyenangkan. Orang-orang mungkin takut kesepian. Kesepian adalah penyakit abad ini yang sesungguhnya paling ditakuti. Saya mencari sunyi, semata bukan lantaran saya hobi semedi. Di kota ini, hiruk pikuk pun seolah dilingkupi hening. Saya seperti menonton sebuah film bisu.

Darwis Khudori, seorang asli Kotagede dan kini mengajar di Universitas Le Havre Prancis. Dalam bukunya “Orang-Orang Kotagede”, ia bercerita tentang kawula alit yang kalah. Setting cerpen-cerpennya di buku itu terkesan suram, jadul, dan sungguh bertolak belakang dengan gemerlap metropolitan masa kini. Tak heran karena cerita-cerita itu ditulis pada tahun 90-an. Bahasa dan plot yang disuguhkan Darwis sungguh sederhana. Lewat kenangan-kenangan masa kecilnya akan Kotagede, dibumbui masalah lazim macam kemisikinan, perceraian, atau kawin muda, kita mungkin cenderung menganggap ceritanya remeh. Jangan dibandingkan dengan cerpen masa kini yang settingnya kebanyakan di kafe, bandara, galeri, lengkap dengan atribut hedonisme lainnya. Membaca buku ini usai menyusuri sendiri lorong-lorong di Kotagede, saya jadi rindu “srunthulan” lagi ke sana.

[caption id="attachment_355565" align="aligncenter" width="432" caption="Sebuah pintu di Jalan Mondorakan"]

1409122180835354636
1409122180835354636
[/caption]

[caption id="attachment_355567" align="aligncenter" width="432" caption="Kuno dan kini diparkir bersama"]

14091222321296276129
14091222321296276129
[/caption]

[caption id="attachment_355568" align="aligncenter" width="432" caption="Sebuah toko di jalan Kemasan"]

14091222682068954135
14091222682068954135
[/caption]

[caption id="attachment_355569" align="aligncenter" width="432" caption="Jogging sambil cuci mata di pasar Kotagede"]

14091223001861678115
14091223001861678115
[/caption]

Satu hal yang saya ingat, saya tak menemukan Alfamart-Indomart dan “mart-mart”-lainnya-perusak-tata-kota yang jamak saya temui di Depok. Selama saya berkeliling di Kotagede seputar makam, alun-alun pasar, dan rumah-rumah kuno, tak sepotong pun ritel modern itu saya temui. Betapa menyenangkan!

Kotagede memang bagian dari Yogyakarta, tapi saat berada di sini, saya seolah menjejak kota lain. Kotagede ibarat kota antah-berantah yang kontras dengan Yogyakarta. Saya tak terkesan lagi dengan Malioboro yang semrawut. Seorang petugas TransYogya mengernyitkan dahi ketika saya bilang mau ke makam di Kotagede. Mungkin baginya aneh, seorang perempuan di siang bolong mau ke makam sendirian. Mestinya saya ke makam saat tengah malam mungkin, ya?

Satu Sabtu, saya tiba Yogyakarta jam delapan pagi. Tanpa mandi, hanya berganti baju di toilet stasiun Tugu, saya melangkah menuju halte TransJogja, tepatnya halte Malioboro 1. Dengan Rp.3.000, saya naik bus 2A lalu turun di halte Kehutanan. Saya berjalan kaki menuju Kotagede. Matahari di jam sembilan pagi sudah sangat membakar. Perut berontak. Untung saya menemukan warung soto yang ramai pengunjung. Terduga enak! Benar saja, seruputan pertama kuah soto yang bening, rasanya bahagia sangat.

Soto Lumayan Kang Sarman di Kotagede ini rasanya jauh dari lumayan, alias super sekali! Salahsatu karakter khas orang Endonesa adalah demen menamai merek dagangnya dengan nama yang membumi, semacam rumah makan Padang Sederhana. Dan seperti orang Endonesa pada umumnya, kita akan lebih tertarik pada figur yang membumi, seperti Jokowi misalnya, ya tho?

[caption id="attachment_355570" align="aligncenter" width="432" caption="Soto Lumayan Kang Sarman di Kotagede yang rasanya "]

14091223391571028482
14091223391571028482
[/caption]

[caption id="attachment_355571" align="aligncenter" width="432" caption="Semangkuk soto lengkap dengan "]

1409122390851510660
1409122390851510660
[/caption]

Suwiran ayam dalam semangkuk soto ini cukup banyak, lengkap dengan potongan perkedel, bihun, kol dan tomat. Aneka karbohidrat dalam satu mangkuk. Wareg bin marem, pemberontakan di perut saya tertumpas sudah. Kaki ini siap mengukur jalanan Kotagede. Di siang membakar itu, suasana kian gaduh dengan arak-arakan kampanye partai. Saya singgah ke makam Panembahan Senapati, pabrik coklat Monggo, situs purbakala bekas benteng, dan makam kerabat raja.

[caption id="attachment_355572" align="aligncenter" width="432" caption="Rumah pink di depan pabrik Coklat Monggo"]

14091224581130960817
14091224581130960817
[/caption]

[caption id="attachment_355573" align="aligncenter" width="288" caption="Pulang sekolah melintasi Hasta Rengga, makam kerabat raja"]

14091224822085045122
14091224822085045122
[/caption]

[caption id="attachment_355574" align="aligncenter" width="288" caption="Pintu menuju "]

14091225131981924172
14091225131981924172
[/caption]

[caption id="attachment_355575" align="aligncenter" width="415" caption="Pelataran Masjid Kotagede"]

14091225991483213900
14091225991483213900
[/caption]

[caption id="attachment_355576" align="aligncenter" width="432" caption="Jendela bilik kuncen makam"]

14091226291883778633
14091226291883778633
[/caption]

[caption id="attachment_355577" align="aligncenter" width="432" caption="Ikan raksasa penunggu Sendang Saliran Putri"]

1409122667306868785
1409122667306868785
[/caption]

Makam Panembahan Senapati siang itu sepi. Saya singgah di pelataran Masjid Kotagede sebelum menuju makam. Di bangsal sebelum makam, beberapa kuncen leyeh-leyeh sembari mendengarkan berita politik dari radio transistor. Saya enggan masuk makam karena harus berganti kostum khusus. Saya memilih melihat-lihat pemandian putri raja saja. Ternyata di salah satu kolam pemandian, ada ikan sebesar betis orang dewasa. Airnya hijau karena kolam penuh lumut dan ganggang. Saya membayangkan apa iya putri zaman dahulu mandi bareng ikan ini? Atau lantaran kolam ini tak terawat saja? Apa itu ikan keramat? Saya bergidik sekaligus sedih.

[caption id="attachment_355578" align="aligncenter" width="320" caption="Gerbang menuju area makam dan sendang"]

1409122703379653873
1409122703379653873
[/caption]

[caption id="attachment_355579" align="aligncenter" width="325" caption="Pintu menuju makam Senapati"]

1409122724614871920
1409122724614871920
[/caption]

[caption id="attachment_355580" align="aligncenter" width="320" caption="Gerbang makam Senapati"]

14091227521741799035
14091227521741799035
[/caption]

[caption id="attachment_355582" align="aligncenter" width="317" caption="Aksara jawa di monumen depan pasar Kotagede"]

14091227721688690176
14091227721688690176
[/caption]

[caption id="attachment_355583" align="aligncenter" width="422" caption="Makam Senapati"]

1409122803352685669
1409122803352685669
[/caption]

[caption id="attachment_355584" align="aligncenter" width="432" caption="Bangsal Pengapit Ler di depan makam Senapati"]

1409122827307397905
1409122827307397905
[/caption]

[caption id="attachment_355585" align="aligncenter" width="422" caption="Kuncen makam mengaso sambil mendengarkan berita politik dari transistor"]

14091228532135647808
14091228532135647808
[/caption]

[caption id="attachment_355586" align="aligncenter" width="448" caption="Bagian dalam Sendang Saliran Putri"]

14091228842031202173
14091228842031202173
[/caption]

Matahari yang pemarah biasanya luluh dirayu air mata hujan. Seperti saya yang moody, langit yang tadinya bikin ubun-ubun berasap, mendadak muram. Sebentar lagi hujan. Saya putuskan cukup mengukur jalanan Kotagede. Saya harus kembali ke Malioboro yang sesak, mencari penginapan. Tepat usai saya masuk ke Homestay Dewi, hujan deras mengguyur Ngayogyakarta Hadiningrat.

Minggu jam enam pagi, saya sudah di halte TransYogya menuju Kotagede lagi. Kang Sarman si penjaja soto bilang, sepanjang jalan Kemasan dan Mondorakan bertebaran bangunan-bangunan kuno nan cantik. Kotagede memang wilayah kota tua. Kabarnya, ada 170 obyek cagar budaya di Kotagede. Oh, hampir lupa.. Kotagede juga merupakan pusat kerajinan perak. Tapi berhubung saya tak doyan wisata belanja, target buruan saya hanya foto-foto bangunan tua. Pagi itu, saya ingin menjepret lebih banyak bangunan kuno yang kemarin terlewat karena kepanasan.

[caption id="attachment_355587" align="aligncenter" width="464" caption="Pertigaan jalan Kemasan ini jadi spot favorit saya"]

14091229181380320911
14091229181380320911
[/caption]

[caption id="attachment_355588" align="aligncenter" width="461" caption="Pulang dari pasar"]

14091229471745847364
14091229471745847364
[/caption]

[caption id="attachment_355591" align="aligncenter" width="448" caption="Dokar melintas di pertigaan jalan Kemasan"]

14091230731642529596
14091230731642529596
[/caption]

[caption id="attachment_355592" align="aligncenter" width="448" caption="Sebuah rumah di dekat pasar Kotagede"]

14091231001933424015
14091231001933424015
[/caption]

[caption id="attachment_355593" align="aligncenter" width="448" caption="Iring-iringan remaja bersepeda di Minggu pagi di jalan Kemasan"]

14091231251845251606
14091231251845251606
[/caption]

[caption id="attachment_355594" align="aligncenter" width="448" caption="Penjual belut dan lele di jalan Kemasan "]

1409123158922241607
1409123158922241607
[/caption]

[caption id="attachment_355595" align="aligncenter" width="448" caption="Bersepeda mini di Minggu pagi"]

1409123179234100516
1409123179234100516
[/caption]

Pasar tradisional selalu menarik buat saya. Tak ada yang tak bisa dipotret dari sebuah pasar tradisional. Seperti saya bilang tadi, saya tak suka keramaian kota, tapi saya tak keberatan dengan pasar tradisional. Sejak saya kecil, ibu saya selalu bilang, kunjungi pasar tradisional di sebuah kota. Di pasar tradisional, kita bisa melihat karakter orang-orang penghuni kota itu.

[caption id="attachment_355597" align="aligncenter" width="448" caption="Pasar Legi Kotagede"]

140912321394167473
140912321394167473
[/caption]

[caption id="attachment_355598" align="aligncenter" width="448" caption="Photo Panorama di pasar Kotagede, lokasi favorit para bapak menunggu istri yang berbelanja"]

14091232311839169872
14091232311839169872
[/caption]

[caption id="attachment_355599" align="aligncenter" width="448" caption="Ikut ibu berjualan di pasar "]

14091232561408049143
14091232561408049143
[/caption]

[caption id="attachment_355600" align="aligncenter" width="448" caption="Toko gula di pasar Kotagede"]

14091232741810899841
14091232741810899841
[/caption]

[caption id="attachment_355601" align="aligncenter" width="299" caption="Parkir"]

1409123308339355834
1409123308339355834
[/caption]

[caption id="attachment_355602" align="aligncenter" width="299" caption="Baca koran sembari menunggu pelanggan"]

14091233331079608168
14091233331079608168
[/caption]

[caption id="attachment_355603" align="aligncenter" width="299" caption="Toko alat pancing "]

14091233501247943086
14091233501247943086
[/caption]

Sehari sebelumnya saya tak sempat singgah di jalan Mondorakan. Pagi itu, jalanan cukup sepi. Aktivitas terpusat di Pasar Kotagede. Sepeda-sepeda berseliweran di kota ini. Di salah satu sudut pasar, parkiran sepeda membludak. Mayoritas jenis sepeda yang diparkir bukan sepeda modern, tapi model onthel yang antik itu. Di kota ini, manusia masa kini masih menghargai ia yang kuno. Di Kotagede, roh raja-raja, kawula alit, dan sepeda hadir beriringan. Ah, sungguh saya cinta kota kuno ini!

[caption id="attachment_355604" align="aligncenter" width="448" caption="Bersiap pergi"]

14091233961326765322
14091233961326765322
[/caption]

[caption id="attachment_355605" align="aligncenter" width="448" caption="Transaksi para ibu di Jalan Mondorakan"]

14091234181617942010
14091234181617942010
[/caption]

[caption id="attachment_355607" align="aligncenter" width="448" caption="Melintas rumah unik dengan lukisan dinding"]

1409123488589368456
1409123488589368456
[/caption]

[caption id="attachment_355608" align="aligncenter" width="448" caption="Pulang dari pasar bersama ibu"]

1409123517677773434
1409123517677773434
[/caption]

[caption id="attachment_355609" align="aligncenter" width="448" caption="Rumah unik yang sedang direnovasi di Jalan Mondorakan"]

1409123545947166603
1409123545947166603
[/caption]

[caption id="attachment_355611" align="aligncenter" width="448" caption="Sebuah pintu entah jendela?"]

14091235661498433874
14091235661498433874
[/caption]

[caption id="attachment_355612" align="aligncenter" width="448" caption="Sebuah rumah kosong, sepeda dan bendera partai"]

1409123591376066614
1409123591376066614
[/caption]

[caption id="attachment_355606" align="aligncenter" width="448" caption="Pintu sepuluh"]

1409123449212142422
1409123449212142422
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun