Kita makan bersama, tetapi oom Darko tidak ikut makan seperti biasanya.
“Oom Darko tadi udah njajan soto dijalan, mungkin masih penuh perutnya.”
Aku dan Ria hanya tersenyum saja dan kita mulai menyedu makanan dan aneka lauk yang ada dimeja.
“Jam berapa latihan karatenya disini ?” tanya Ria setelah kita dikamar
“Jam tiga sampai enam biasanya.” Ria memandang jam didinding
“Kita bisa tidur aja dulu, aku ngantuk.” Dia memeluk guling dan membalik
Aku termenung, Ria kalau bicara memang seenaknya, tapi tebakannya sering tepat, jarang meleset – kadang dia seperti cenayang.
Dikeroyok tujuh orang dan selamat , tiada kurang suatu apa bahkan tidak cedera sedikitpun, bahkan makin tambah cantik ?
Aku tersenyum dan tunduk, menarik nafas panjang.
Kupandangi dia, rupanya dia sudah lelap, nafasnya tampak teratur, tenang.
Pintu diketuk, kusahut dan kubuka pintu, tante Kamti masuk.
“Enggak tidur, tante mau ngomong , kita kebelakang sebentar.”
Aku keluar kamar dan kebelakang mengikuti tante
Disana sudah ada oom Darko, mbak Murni , dua pembantu wanita , Gatot – situkang kebun, sopir dan dua orang tidak kukenal.
“Begini, .. ini non Puteri, .. dan ini pak Suro dan pak Wiro, penjaga malam baru dirumah ini.” aku tersenyum, mengangguk pada dua penjaga malam baru ini.
Benar kata Ria, kedua orang itu cukup menyeramkan, usia tengah baya, badannya besar gempal, ada beberapa bekas luka diwajahnya, yang seorang bertatto tengkorak ditangannya.
Yang satunya lagi memakai gelang akar bakar besar ditangan dan agak gundul.