Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Darah Biru yang Terluka (37)

12 Desember 2014   16:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:27 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merasa kebingungan dan salah tingkah kemudian dia berkata padaku
“Aku masih mempunyai banyak sekali permata hiasan mustika di istana, nanti aku kirimkan hadiahnya yang lebih bagus ke Galuga.” Katanya dengan pasti

Kupandangi dia dengan senyum “ Terima kasih pangeran.”

Aku keluar dari arena, puteri Kuning langsung memelukku, juga Nini Sedah. Nyai Gandhes aku lihat tersenyum geli., tapi aku lihat ada mendung di wajah pangeran Biru.
Nyai Gandhes segera naik ke kudanya, dan kita berderap menuju istana.

Sesampai di istana aku lihat pangeran Biru sudah menunggu, segera Nyai Gandhes menariknya masuk istana.
Aku dan Kuning juga segera masuk istana, terus langsung ke kamar, kepingin mandi dan minum yang segar.

Sesudah mandi dan ganti baju yang bersih, aku dan Kuning melihat beberapa minuman dan aneka makanan yang tersedia di meja.

“Putri, aku kawatir pangeran Tirto Beno itu nanti benar-benar jatuh cinta padamu.” Kuning memandangku
“Engkau sudah di beri tahu Nyai Gandhes bukan ?”
“Iya bahkan yang menyuruh engkau senyum-senyum  pada pangeran Kemayang itu Nyai, apa ya maksudnya ?” aku mengangkat bahu

“Pangeran Tirto Beno itu kan isterinya dimana-mana, seperti ayahandanya.”
“Tetapi dia belum punya permaisuri.”
“Ya engkau itu yang diharapkan Kuning, yang jadi permaisurinya.”
“Aku sudah menolak lamarannya.” Kata Kuning

“Aku masih mencintai kakang Narpati Puteri, dia itu baik sekali. Kalau tidak jadi dengan kakang Narpati, biarlah aku hidup seperti Nyai Gandhes saja, menemani beliau di sana di lereng gunung Sangga Bumi yang indah.” Dia memandangku.

Aku menarik napas panjang, memandang dia dan tertunduk.
“Kalau aku tidak bisa pulang akupun mau menemani engkau dan Nyai Gandhes di lereng gunung Sangga Bumi.” Aku memandangnya, dia tersenyum menggeleng.

“Kalau tidak bisa pulang, engkau harus menjadi permaisuri Galuga mendampingi kakakku. Pangeran Biru amat mencintai engkau Puteri.”

Dia memegang kedua tanganku “Nanti aku dan Nyai Gandhes akan selalu berkunjung ke istana.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun