Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Darah Biru yang Terluka (52)

27 Januari 2015   22:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:16 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14223487071123413947

[caption id="attachment_366269" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber Gambar: dakuamatmenyintaimu.blogspot.com"][/caption]

Bagian ke Lima Puluh Dua :  GANDAMAYIT   DARI   LANGIT

“Puteri, engkau besok yang hati-hati ya, kakakku pangeran Biru dan aku tidak ingin engkau terluka.” Kata Kuning bersungguh-sungguh

“Iya adikku yang cantik, saya akan sangat berhati-hati. Akan kuingat perkataan bibi Sekar Palupi, meskipun Samudera Laksa bukan petarung yang tangguh, tapi aku harus waspada dengan ajiannya Gendam Segaran.” Kataku, kupeluk puteri yang lembut hati ini.

Ada ketukan dipintu, bibi Lindri dengan beberapa ponggawa masuk akan memberesi semua yang dimeja makan. Sambil membawa minuman untuk malam nanti

Ternyata dibelakang mereka, ada Nyai Gandhes dan Nini Sedah ikut masuk, kedua beliau hanya tertawa melihat banyaknya pernak-pernik yang di bawa bibi Lindri dan para ponggawa itu.

Aku dan Kuning saling pandang dan tidak bisa berkutik, ketahuan makan begitu banyak..

Ketika pintu sudah ditutup, kulihat Nyai Gandhes memandang ke angkasa, awan merah-muda yang cantik berarak dengan lembut gemulai.

“Sepertinya Samudera Laksa tidak berani datang besok. Tetapi Puteri, mulai sekarang siapkan Guntur Geni . Bawa selalu jika ke mana-mana..”

“Apa Buyut Haruna akan turun besok Nyai ?” tanyaku pada Nyai Gandhes.

“Kita lihat saja besok, sepertinya Samudera Laksa sudah ketakutan dulu sebelum tarung jago. Betul seperti kata Sekar Palupi dan panglima Maruta, dia hanya besar mulut saja, kalau dihadapi dan diladeni, dia akan kabur. Kasihan juga ” Nyai Gandhes tersenyum, mungkin beliau teringat sudah mempermainkan perasaan Samudera Laksa tadi.

Tiba-tiba Nyai bertanya ”Enak ya ikannya tadi Puteri ?” sambil senyum
“Iya Nyai enak sekali,…” Jawabku malu-malu sambil menoleh ke Puteri Kuning

“Nanti malam jangan tidur kelewat nyenyak. Pada saat seperti ini kita harus tetap awas dan waspada, musuh masih berkeliaran mencari saat lengah kita.”

Aku dan Kuning tertunduk mengangguk “Iya Nyai “
Nyai Gandhes dan Nini Sedah keluar kamar, aku mengantar dan diluar pangeran Biru sudah menanti.

“Jangan terlalu lama pangeran, puteri masih membutuhkan waktu untuk istirahat.” Pesan beliau dan bersama Nini Sedah kemudian meninggalkan kamar.

Pangeran Biru memandangku dan tersenyum, aku tunduk dan senyum juga
“Selamat malam pangeran, selamat beristirahat.” Pintu hendak kututup, dihalangi dengan tangannya oleh pangeran Biru

“Puteri, hati-hati besok pagi, aku dan Kuning tidak ingin engkau celaka. Merupakan kebahagiaan bagi kami, Puteri datang di negara kita, seolah memberi sinar terang bagi kehidupan kita yang suram.”

Dia memandang aku bersungguh-sungguh, aku mengangguk memandangnya.
Aku lihat Kuning juga sudah ada diantara kita, bertiga kita saling berpelukan dengan erat. Sesak nurani ini membelai kalbu

Rasanya ada air mata yang akan runtuh, aku menahannya sekuat tenaga.

“Aku mencintaimu, sangat mencintaimu Puteri.” Pangeran Biru berbisik lirih.

Hati ini makin tersayat, lembut torehannya tapi pasti membuat aku akan makin terluka dan terhempas disuatu hari nanti.

Sesudah wanti-wanti padaku, pangeran Biru pamit. Sebelumnya diciumnya cincin di tanganku dengan mesra, akupun mencium cicin di tangannya tak kalah lembutnya.

Aku pandangi pangeran Biru yang berjalan menuju kekamarnya, terus saja kupandangi dengan pikiran yang tidak menentu.
Dia selalu menoleh kearahku, melambaikan tangannya..

Ditengah langkahnya dia berhenti dan mencium cincin di jarinya sambil mengawasi aku, akupun mencium cincin dijariku dengan mesra, kuawasi dia
Ada senyum disana, indah dan syahdu.

Pintu aku tutup dan palang juga kupasang, aku lihat Kuning duduk termangu di peraduan. Kita bertatapan tapi saling membisu.

“Sudahlah Kuning, aku akan berhati-hati menghadapi Samudera Laksa. Nanti akan kututup mulut dia secepat mungkin. Engkau dengar kata Nyai Gandhes tadi, … dia tidak bakal berani datang besok.” Kupeluk putri Kuning.

“Entah kenapa hatiku merasa was-was saja, aku selalu merasa takut dengan yang bakal terjadi.” Kata Kuning, aku hanya berkedap-kedip saja mendengar.

“Aku percaya dengan engkau puteri, Samudra Laksa pasti bisa kaukalahkan cepat. Aku hanya khawatir dengan diriku sendiri. Aku selalu merasa ragu dan bingung”

Dia masuk ke peraduan, menata bantalnya dan juga bantalku kemudian berbaring
Suaranya lirih hampir tak kudengar, tersendat, terputus, kulirik ada tetes air mata yang mulai meleleh di pipinya.

“Sudahlah, … dengar ya puteri cantik, marilah kita hadapi semua dengan jiwa seorang petarung seperti yang selalu di ajarkan oleh Nyai Gandhes. Kita harus tegar dan tidak gampang putus asa. Harus selalu percaya diri dan tetap semangat untuk menghadapi segalanya.” Kutegaskan padanya

“Aku ingin bisa tegar seperti engkau Puteri, tetapi tidak bisa. Kehidupanku menyedihkan, ibundaku meninggalkan aku waktu aku masih ingin dan perlu bermanja pada beliau. Ayahandaku ..engkau tahu sendiri, bahkan tega mau mencelakai pangeran Biru, anaknya sendiri, kakakku .” kulirik ada sedu disana

“Puteri cantik, banyak orang yang nasipnya lebih parah dari engkau. Diluar istana ini bisa kaulihat nasip mereka. Tetapi ingat-ingatlah semua, masih ada Nini Sedah, masih ada Nyai Gandhes, pangeran Biru dan waktu itu juga ada kakang Narpati yang mencintaimu semua dengan tulus.”

Matanya kulihat berbinar mendengar nama kakang Narpati, tapi kemudian redup lagi, mendesah dan menarik nafas panjang.

“Mungkin suatu waktu kakang Narpati akan hadir lagi dikehidupanmu.” Kataku yang begitu saja keluar dari mulut. Rasanya aku tidak tega dan tidak pernah bisa berdusta pada Puteri cantik yang baik hati ini.

Dia memandangku “Engkau merasakan begitu Puteri ?” aku mengangguk.

“Pangeran Biru amat mencintai engkau Puteri.” Katanya lembut
“Iya aku tahu.” Nafas kutarik perlahan, kulirik puteri Kuning, dia mulai menutup matanya sambil memeluk guling, nafasnya tampak teratur.

Malam bertambah larut dan makin sepi, sepertinya terlalu hening, dan anehnya mataku bukan malah ngantuk pengin tidur, mata ini makin terasa segar.
Aku menoleh, Kuning sudah tertidur, aku bangkit dan menuju ke meja untuk mengambil minum.

Aku minum dan mataku menangkap ada sinar yang keluar dari kotak Guntur Geni dua-duanya, segera aku buka dan senjata itu bersinar dengan binar yang amat temaram.

Kuambil keduanya, aku sisipkan dipinggangku, kuambil cemetiku, kubelitkan dipinggangku, sebuah pedang panjang kuambil.

Aku melihat keluar lewat jendela, dan ada pemandangan yang mentakjubkan.
Diudara ada sinar yang lalu lalang tanpa suara, bahkan keadaannya amat hening dan tenang. Keheningan dan ketenangan yang mencekam, mengerikan.

Aku keperaduan dan membangunkan Kuning, dia cepat bangun, aku menutup mulutku dengan telunjuk, …ssstttt, aku menunjuk ke jendela, dia langsung terbelalak.

Meloncat dan mengambil dua pedang pendeknya dan juga mengambil satu senjata Yogi Puteri yang disisipkan di pinggangnya.
Perlahan pintu aku buka, sepi sekali, kemana ponggawa dan para senapati penjaga keputren ?

Ditempat penjaga, para ponggawa tertidur semua, aku bangunkan mereka.
Senapati Mayang langsung sigap dan membangunkan semua ponggawa.

Aku dan Kuning menuju ketempat kamar Nyai Gandhes, Nini Sedah, dan pangeran Biru, rupanya beliau sudah siap dan kita bersama menuju keruang depan istana. Kita semua bergerak dalam diam.

Sambil jalan kita membangunkan ponggawa yang tertidur bergeletakan di sepanjang lorong istana. Mereka segera bangun dan mengikuti kita ke ruang depan istana.

Pemandangan di angkasa terlihat jelas dari sini, terlihat banyak sinar berkelebatan, simpang siur aneka warna, semua seolah mengelilingi istana ini layaknya ingin menerkam masuk kedalam istana.

Mereka bergerak tanpa suara, keadaan sepi hening tapi mencekam.
Aku lihat Nyai Gandhes, Nini Sedah, para panglima dan juga para jawara sepuh seolah beradu kekuatan tenaga dalam dengan kekuatan yang ada diluar istana.

Aku dan Kuning hanya memandangi semua dengan rasa was dan waspada.
Tiba-tiba Nyai Gandhes memanggilku dan Kuning, kita kemudian duduk dibelakang Nyai Gandhes. Memanggil Nini Sedah, berbisik dan Nini Sedah mengisyaratkan semua untuk mundur agak menjauh.

Hanya keluarga inti istana yang duduk berdekatan paling depan menghadap keluar. Nyai Gandhes berbisik apakah aku membawa senjata Guntur Geni, aku mengangguk. Demikian juga ditanyakan pada Puteri Kuning.

Aku dipersilahkan duduk paling depan berjajar dengan Kuning, di belakang kita Nyai Gandhes dan Nini Sedah dan pangeran Biru.

“Puteri, satukan dua senjata Yogi Puteri sekarang.” Aku ambil dua senjata Guntur Geni dan aku satukan.

Tiba-tiba ada kilat yang men-cetar, lidah api itu tampak menyambar sana-sini, suaranya memetir dan bergerak cepat seolah mengejar sinar yang tadi berseliweran di atas istana.

Jika terjadi tabrakan pasti disusul dengan ledakan yang menakutkan, suaranya menggetarkan dan kita semua menyaksikan adu tempur diudara yang menegangkan dengan penuh kewaspadaan,

“Puteri, siapkan senjata yang ketiga.” Kuning mengulurkan senjata Yogi Puteri, kuterima, aku memandang Nyai Gandhes

Dan dari arah Kemayang, ada cahaya api besar yang menyilaukan, melaju mengarah ke Galuga, makin dekat segera tampak bola api yang berputar dengan suara mendesis hebat melaju makin kencang kearah istana.
“Pasang Puteri yang ketiga.” Perintah Nyai, aku tancapkan senjata yang ketiga.

Dan ada gelegar dahsyat yang muncul dari atas istana, gelegar itu berubah menjadi awan pekat berwarna merah dan bergerak menyongsong bola api dari Kemayang.

Ditengah jalan awan itu menghalangi bola api dan membungkusnya dengan suara mendesis serta dentuman debam dengan lidah apinya yang menjilat sana sini, menyeramkan mengerikan.

Dan suatu ledakan yang mengguntur dengan gemuruh seolah menghentak bumi, membelah persada menghunjam angkasa,
Daya ledaknya menggebrak dan mendobrak, hingga semua yang duduk di beranda keraton terlempar terhempas dengan keras.

Aku menoleh kebelakang, rupanya hanya aku yang tidak terhempas, aku cepat menolong Nyai Gandhes, Nini Sedah, puteri Kuning dan pangeran Biru yang terhempas jauh kebelakang.

Keadaan kacau balau, tetapi Nyai Gandhes juga cepat sigap, dibantu Nini Sedah dan beberapa panglima yang cepat siaga, mereka menolong semuanya.

Ketika semua melihat ke langit, heran, langit sudah kembali seperti semula, tenang dengan awan yang bertiup gemulai, tidak ada bekas tanda pertempuran dahsyat.
Pangeran Biru dan Puteri Kuning langsung memelukku

Banyak bisik-bisik terdengar “Guntur Geni … guntur Geni.” Nyai Gandhes menenangkan suasana.

“Lihat kalian, Kemayang mengirim santet GandaMayit kesini. Tapi sudah kita enyahkan, kita semua selamat. Ayo terus berjaga melindungi istana ini, harus tetap waspada di setiap sudut yang rawan.”

Nyai Gandhes memelukku “Terima kasih Puteri.” Aku tersenyum.dengan sepenuh rasa hormatku pada beliau, beliaulah penggerak segalanya..

Aku menengok kiri kanan, kemana Puteri Kuning, tadi baru ada didekatku, tiba-tiba lenyap.

“Katanya sedang mengambil air minum itu di belakang, sekalian untuk calon kakaknya yang cantik.” Kata pangeran Biru sambil tersenyum padaku.

Tiba-tiba terdengar jeritan, dan ribut-ribut, semua orang berlari kearah belakang.

Aku juga cepat berlari kesana dan aku terbelalak, terperangah memandangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun