“Nanti sebentar lagi ada dua panglima dengan pasukan yang menyusul kalian. Hati-hati.”
Warsih memacu kudanya dengan cepat, kitapun berderap mengikuti dia.
Keadaan sekitar sudah sepi, tidak tampak ada prajurit atau ponggawa kerajaan yang kita temui.
Aku menyusul Warsih “Rumah mu di sekitar sini Warsih ?” aku tanya
“Masih jauh Puteri, rumah saya didekat bandungan Prapat.” Warsih memperlambat kudanya, aku bareng mengikutinya.
“Pasti engkau hapal dengan jalan-jalan trobosan di daerah sini ya ?”
“Betul Puteri, daerah sini merupakan daerah bermain waktu kecil” katanya sambil tersenyum.
“Si Lurik ini sudah hapal daerah sini, sambil meram juga dia akan sampai di kandangnya di istana.” Kulihat dia membelai surai si-Lurik kudanya yang tampak begitu perkasa.
“Warnanya bagus sekali, itu dari istana atau milikmu sendiri.”?” Tanyaku.
“Ini milik saya sendiri Puteri, hadiah dari ayahanda saya sejak lama. Saya lebih cocok dengan Lurik daripada kuda istana. Kuda istana galak dan garang,seperti kuda Puteri, saya sering tidak bisa menguasai.”
“Engkau belum kenal saja, kalau sudah kenal, pasti mereka juga menyenangkan.” Aku belai surai kuda yang kunaiki dan tampak kuda itu senang dengan belaianku. Dia seperti mendengus.
“Engkau tahu ini dahulu kudanya siapa ?” tanyaku
“Itu dahulunya kuda kerajaan, Puteri, kudanya permaisuri Galuga, Puteri Setyawati.”
“Ibundanya pangeran Biru dan Puteri Kuning ?”