Gibah dapat melukai hati seseorang, menimbulkan permusuhan, mengacaukan hubungan kemasyarakatan, dan memunculkan rasa saling curiga. Berbagai potensi dampak ini kemudian mendorong Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait gosip atau gibah di media sosial.[1]
Yusuf Al Qardhawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Halal yaitu
"Ghibah adalah suatu keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya".[2]
Maka benar, bahwa kekuatan tidak diukur dengan kepandaian seseorang dalam perkelahian. Orang yang kuat sebenarnya adalah yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah. Karena pada saat marah biasanya manusia tidak dapat mengontrol emosinya sehingga bisa menyesal di kemudian hari. Berdasarkan hal ini, agama mengajarkan bahwa, jika seseorang marah untuk menahan diri, bersabar, berlindung pada Allah dari setan terkutuk. Lalu berwudhu, karena wudhu dapat memadamkan kemarahan, karena kemarahan adalah ibarat api yang harus dipadamkan sebelum menjalar (Zulfa, 2019:67-68).
Al-Quran juga memerintahkan agar seseorang dapat mengendalikan emosi pada saat marah. Sebab pada saat seorang sedang marah, maka pemikirannya tidak berfungsi dan ia kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan yang benar (Najati, 2003:83)
Dalam hadits lain, Imam An-Nawawi menyebutkan kesabaran yang di ganjar besar oleh Allah adalah kesabaran saat menghadapi kesedihan dan kehilangan sesuatu yang dianggap berharga baginya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. 2003. Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah:
Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. Terjemahan oleh Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
An-Nawawi, Imam. 2018. Riyadhus Shalihin. Terjemah oleh Izzudin Karimi. Jakarta: Darul Haq.