Film Al-Fatih 1453, yang disutradarai oleh Faruk Aksoy, mengisahkan sejarah persaingan antara dua kekuatan besar, yaitu Kekaisaran Romawi (Byzantium) dan Kesultanan Utsmaniyah. Pada masa itu, pasukan Kesultanan Utsmaniyah dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, yang dikenal juga sebagai Sultan Mehmed II. Sultan Mehmed II lahir di Edirne pada 29 Maret 1432. Sejak kecil, ia telah menerima pendidikan mendalam tentang agama dan tumbuh menjadi seorang pemimpin yang tangguh.
Rasulullah saw mengatakan sebuah hadis berikut, Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan." (H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335).
Tekad Sultan Muhammad Al-Fatih untuk menaklukkan kota Konstantinopel tercermin dari upayanya yang tak kenal lelah dalam mempersiapkan dan menjalankan strategi selama pengepungan kota tersebut. Kemampuannya dalam memainkan politik secara cerdas dan kreatif sebagai seorang pemimpin semakin memperkuat langkahnya menuju kemenangan.
Muhammad Al-Fatih memiliki keahlian dalam merancang dan menerapkan strategi politik yang cepat dan tepat, memberikan dampak positif bagi Kesultanan Utsmaniyah. Jika dibandingkan, kekuatan militer Turki Utsmaniyah sebenarnya masih tertinggal jauh dari total kekuatan militer negara-negara Kristen Eropa. Namun, berkat kecerdasannya dalam menjalankan peran sebagai Sultan dengan strategi politik yang efektif, ia berhasil memenangkan pertempuran besar. Akhirnya, ia mampu merebut kota Konstantinopel dan mengakhiri sejarah panjang Kekaisaran Bizantium.
Strategi Politik Muhammad al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel
Dalam mencapai sebuah tujuan, diperlukan usaha, kerja keras, dan tekad yang kuat. Hal ini juga diterapkan oleh Sultan Muhammad al-Fatih. dalam upayanya menaklukkan Konstantinopel, al-Fatih merancang strategi yang sangat matang. Langkah ini dilakukannya untuk mewujudkan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan keutamaan pasukan yang akan menaklukkan kota tersebut. Sebagai langkah awal, al-Fatih memberikan misi kepada para bawahannya, menanamkan semangat jihad dalam diri mereka, serta meyakinkan bahwa merekalah pasukan yang dimaksud dalam hadis tersebut.
Dengan bekal yang matang dan pemahaman mendalam tentang medan perang, Al-Fatih berhasil melangkah menuju ambisi besarnya. Perlu diketahui bahwa sebelum Al-Fatih berkuasa, para khalifah dan komandan kaum Muslimin telah berusaha menaklukkan kota tersebut pada berbagai periode. Namun, upaya mereka belum berhasil karena Konstantinopel memiliki pertahanan militer yang sangat kuat.
Al-Fatih tidak ingin mengalami kegagalan seperti para khalifah sebelumnya. Oleh karena itu, ia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Konstantinopel, mempelajari setiap aspek kota tersebut, termasuk kekuatan dan kelemahannya. Salah satu kelemahan Konstantinopel adalah konflik sengit antara dua gereja Ortodoks, yang semakin memanas ketika Paus berusaha menyatukan kedua gereja tersebut. Upaya ini memicu perlawanan terhadap aliansi antara raja dan Gereja Katolik. Di sisi lain, kekuatan Konstantinopel terletak pada pertahanan militernya yang tangguh dan benteng-benteng yang sangat kokoh. Oleh karena itu, Â Al-Fatih mempersiapkan strategi matang untuk menaklukkan Konstantinopel. Ia mengumpulkan informasi penting tentang kota tersebut, menyusun peta-peta sesuai dengan rencana blokade, dan bahkan langsung meninjau kondisi tembok-tembok kota untuk mengukur kekuatan dan ketahanannya. Menurut para peneliti, langkah ini dilakukan untuk memahami situasi dan kondisi secara mendalam, sehingga strategi yang disusun dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya kesalahan besar.
Jika Konstantinopel berhasil jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah, dampaknya akan sangat luar biasa. Kota ini memiliki peran yang sangat penting di dunia, bahkan Rasulullah SAW pernah menyebutkan keutamaan kota tersebut dalam sabdanya. Keberhasilan menguasai Konstantinopel akan menjadi sumber kebanggaan sekaligus prestasi besar bagi Kesultanan Utsmaniyah.
Setelah memiliki misi yang jelas dan melakukan evaluasi, langkah selanjutnya adalah menyusun strategi, yang menjadi hal penting dalam menghadapi medan perang. Al-Fatih memulai persiapannya dengan mengumpulkan persenjataan sebagai langkah awal peperangan. Untuk itu, ia mengundang seorang insinyur bernama Urban, yang sebelumnya bekerja di Konstantinopel namun berhenti karena pihak kota tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Urban kemudian menawarkan kerja sama dengan Al-Fatih untuk merancang dan membuat meriam.
Meriam tersebut memiliki berat ratusan ton dan membutuhkan ratusan peletup api yang kuat untuk mengoperasikannya. Para peneliti menyebutkan bahwa meriam ini menjadi senjata utama dalam menaklukkan Konstantinopel. Al-Fatih secara langsung mengawasi proses pembuatannya dan juga melakukan uji coba untuk memastikan efektivitas senjata tersebut.
Al-Fatih tidak berhenti sampai di situ, ia tampaknya juga berencana untuk menyerang dari arah laut. Ia memerintahkan pembuatan lebih dari empat ratus kapal dengan berbagai jenis. Selain itu, Al-Fatih juga menjalin perjanjian dengan wilayah tetangga untuk fokus menghadapi satu musuh bersama. Namun, perjanjian ini tidak bertahan lama karena perbedaan keyakinan yang tajam antara kelompok-kelompok Nasrani.
Akibat pembatalan perjanjian tersebut dan didorong oleh tekad yang sangat kuat, Al-Fatih memulai aksi penyerangan dengan semangat jihad di jalan Allah. Ia membagi pasukannya menjadi tiga bagian utama, menempatkan pasukan tambahan di belakang pasukan utama, dan memposisikan meriam raksasa di depan pintu Topkapi, gerbang utama Konstantinopel. Al-Fatih juga menempatkan regu-regu di posisi strategis yang tinggi dan dekat dengan kota untuk memantau situasi. Sementara itu, kapal-kapal pasukan Daulah Utsmaniyah mulai menguasai perairan sekitar kota. Namun, keberadaan rantai besar yang dipasang Konstantinopel sempat menghalangi kapal-kapal tersebut. Meskipun demikian, akhirnya pasukan Daulah Utsmaniyah berhasil merebut kendali.
Sebagai umat Muslim yang menjunjung perdamaian, Al-Fatih mencoba untuk mengadakan perundingan damai dengan Konstantinopel dengan mengirimkan sebuah surat kepada raja Konstantinopel yang berisi tawaran perdamaian antara Daulah Utsmaniyah dan pihak Konstantinopel. Namun, penguasa Konstantinopel tetap bersikeras untuk mempertahankan wilayahnya. Akibatnya, perang berlanjut dengan blokade yang dilakukan oleh Daulah Utsmaniyah, meskipun hal itu belum sepenuhnya efektif karena pasukan Bizantium masih bertahan di selat. Meskipun demikian, serangan dari pasukan Daulah Utsmaniyah terus berlangsung tanpa henti. Meriam lainnya berhasil menghancurkan sebagian tembok Bizantium di dekat lembah Lykus, sebelah barat tembok tersebut. Pada hari yang sama, sebagian kapal Daulah Utsmaniyah berusaha menembus rantai besar yang menghalangi mereka, namun mereka juga harus menghadapi serangan dari pihak musuh di laut. Akibatnya, pasukan laut Daulah Utsmaniyah merasa kewalahan dan terpaksa mundur dengan rasa kecewa.
Perjuangan untuk menaklukkan Konstantinopel tidak berjalan mulus sesuai dengan strategi yang telah dirancang. Para peneliti mencatat bahwa kebijakan yang diambil oleh Balata Ihsanoqlu, komandan laut, yang mencoba memaksa menerobos dengan menabrakkan kapal ke rantai besar, justru menyebabkan kerusakan pada sebagian kapal milik pasukan Utsmaniyah. Akibatnya, Al-Fatih memutuskan untuk mencopot Balata Ihsanoqlu dan menggantikannya dengan komandan laut yang baru, Hamzah Pasha. Pada saat yang sama, Al-Fatih terus mencari cara untuk memasukkan kapal-kapal Daulah Utsmaniyah ke "Tanduk Emas", mengingat pertahanan di bagian tembok yang menghadap ke arah tersebut sudah mulai melemah.
Al-Fatih kemudian memutuskan untuk memindahkan kapal-kapal Utsmaniyah dari tempat semula di Besiktas menuju "Tanduk Emas" dengan menariknya melalui jalur darat yang terletak di antara dua dermaga. Jalur tersebut berada jauh dari pemukiman Galata, sehingga kapal-kapal tersebut dapat terhindar dari pengawasan musuh di selatan. Jarak antara kedua dermaga tersebut sekitar 3 mil, dan medan tanahnya bergelombang, bukan datar. Setelah itu, Al-Fatih mengumpulkan semua jenderal perang untuk menyampaikan ide tersebut dan merencanakan strategi lanjutan dalam peperangan.
Rencana tersebut dilaksanakan dengan perintah untuk meratakan tanah dalam waktu singkat, menggunakan beberapa balok kayu yang dilapisi minyak dan lemak. Bahan tersebut kemudian disebarkan di jalur yang telah diratakan untuk memudahkan kapal-kapal agar dapat menggelinding dan ditarik. Salah satu tantangan terbesar dari proyek ini adalah memindahkan kapal-kapal ke atas bukit yang tinggi sejauh 3 mil. Para peneliti merasa terkejut dengan pencapaian ini, karena secara logika, membawa kapal melalui jalur darat, apalagi melintasi lembah gunung yang curam, tampak mustahil. Namun, kenyataannya, Daulah Utsmaniyah berhasil melakukannya. Keberhasilan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam, karena mereka berhasil membawa kapal melalui jalur darat, sebuah prestasi yang luar biasa.
Setelah mencapai titik lemah pertahanan kota, Daulah Utsmaniyah berusaha untuk memanjat benteng tersebut. Sementara itu, musuh sibuk dengan pekerjaan membangun dan merenovasi benteng-benteng yang telah rusak. Selain itu, Daulah Utsmaniyah juga menempatkan sejumlah meriam di dataran tinggi yang berdekatan dengan Bosphorus dan "Tanduk Emas". Tujuan dari penempatan meriam ini adalah untuk menghancurkan kapal-kapal Bizantium serta kapal-kapal yang bekerja sama dengan mereka di "Tanduk Emas". Serangan tersebut menyebabkan kelumpuhan total bagi pihak musuh.
Strategi berikutnya adalah menggandakan serangan terhadap tembok-tembok dengan fokus dan intensitas tinggi, sesuai dengan rencana yang telah disusun. Al-Fatih mulai menempatkan senjata berat di dataran tinggi di belakang Galata, yang kemudian menembakkan peluru secara intensif ke pelabuhan. Salah satu peluru mengenai kapal dagang dan menenggelamkannya. Al-Fatih melanjutkan serangan ini sepanjang hari, tanpa henti, untuk melemahkan pasukan musuh dan mencegah mereka merasakan ketenangan.
Selain itu, Al-Fatih memerintahkan pasukannya untuk menggali terowongan di bawah Konstantinopel. Namun, strategi ini gagal karena pasukan musuh telah mengetahuinya. Musuh kemudian menyerang pasukan Daulah Utsmaniyah di bawah tanah dengan api, minyak, dan bahan-bahan mudah terbakar. Akibatnya, banyak prajurit Daulah Utsmaniyah yang tercekik atau terbakar. Mereka akhirnya terpaksa mundur dan kembali ke markas.
Selain itu, Al-Fatih terus melontarkan tembakan meriam dengan keyakinan bahwa Konstantinopel akan segera jatuh. Ia juga berusaha untuk memasuki kota dengan cara damai. Untuk itu, ia mengirimkan surat yang meminta agar kota diserahkan tanpa pertumpahan darah, serta menawarkan jaminan keamanan bagi raja, keluarganya, bawahannya, dan penduduk yang ingin pergi. Namun, surat tersebut dibalas dengan penolakan untuk menyerahkan Konstantinopel begitu saja.
Pada sore hari tanggal 28 Mei, persiapan pasukan Daulah Utsmaniyah mencapai puncaknya, dan meriam mulai membombardir musuh dengan peluru api. Al-Fatih berkeliling memantau berbagai lokasi militer sambil memberikan arahan tentang pentingnya jihad, pengorbanan, doa, dan keikhlasan. Setiap kali melewati pasukannya, ia mengingatkan mereka tentang hal ini, membangkitkan semangat dan fanatisme untuk berjuang di jalan Allah. Berkat strategi yang diterapkan dan semangat jihad para pasukan, pada tanggal 20 Jumadil Ula 757 H / 29 Mei 1435 M, mereka akhirnya mencapai pintu gerbang kemenangan. (Siti Soleha. Mahasiswa BSA UAD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H