Kehadiran arisan online sebagai revolusi dari arisan konvensional tidak dapat dihindari. Kemudahan akses, fleksibilitas, dan potensi keuntungan yang ditawarkan telah menjadikan arisan online sebagai pilihan menarik bagi banyak orang. Namun, dengan perkembangan ini, muncul pula pihak yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi tersebut untuk tujuan penipuan.
Penipuan dengan kedok arisan online ini sudah banyak terjadi di Indonesia, salah satunya terjadi di Kota Bandung yang dilakukan oleh JZF (terduga pelaku). Kasus dugaan penipuan arisan online ini ramai dibicarakan di media sosial setelah unggahan milik akun @Deppzly di platform X menjelaskan kronologi dugaan penipuan arisan yang dilakukan oleh JZF ini.
JZF (20) diduga melakukan aksi penipuan melalui lelang arisan online yang dikelolanya. Menurut akun @Deepzly, korban dari kasus ini mencapai lebih dari 120 orang dengan total kerugian berkisar Rp 2 miliar.
Yang menarik perhatian dari kasus dugaan penipuan lelang arisan ini adalah alasan para korban saat ditanya mengapa mempercayai JZF hingga akhirnya mengikuti lelang arisan ini.
Dari dua korban yang saya wawancarai, R (20) dan A (21), keduanya memiliki alasan yang kurang lebih sama terkait mengapa mereka mempercayai lelang arisan yang diadakan oleh JZF ini.
Korban (R) mengatakan bahwa dirinya mempercayai JZF dan berani untuk mengikuti lelang arisan ini karena JZF merupakan teman masa kecilnya. Korban (R) juga mengungkapkan bahwa JZF ini sudah lama mengadakan kegiatan arisan dan selalu berhasil mengembalikan uangnya kepada para partisipan arisan.
"Aku percaya karena dia temen aku, yang dari kecil udah barengan sama aku. Dia ngelola arisan ini juga udah lumayan lama, kaya udah bertahun-tahun gitu. Jadi aku pikir orang-orang tuh bakalan percaya kalau dia itu bisa mengelola arisan," kata korban (R) saat dimintai keterangan pada 12/11/2023.
Korban (R) sudah berkali-kali mengikuti lelang arisan yang diadakan oleh JZF ini. Terhitung sudah sepuluh kali sejak korban (R) mengikuti lelang arisan yang dikelola oleh JZF pada bulan Maret 2023 dan selalu mendapatkan keuntungan sesuai seperti yang dijanjikan.
Merasa puas dengan hasil arisan sebelumnya, korban (R) percaya bahwa JZF tidak akan mungkin membawa kabur uangnya. Terlebih ia sudah berteman dengan JZF dari bangku sekolah dasar.
Tak jauh berbeda dengan korban (R), korban (A) juga mengikuti lelang arisan ini karena merasa puas dengan hasil arisan undian sebelumnya yang juga dikelola oleh JZF. Karena alasan itu pula, korban (A) percaya untuk mengikuti lelang arisan yang ditawarkan oleh JZF.
Alasan lain yang diungkapkan oleh korban (A) dan cukup membuat saya mengerutkan alis adalah karena image yang dimiliki JZF di sosial media. Korban (A) melihat JZF sebagai seseorang yang hidup mewah dan banyak uang di setiap unggahan-unggahannya. Hal ini membuat korban (A) tidak menaruh curiga bahwa JZF mempunyai indikasi melakukan penipuan.
"Aku lihat dia punya usaha dan kehidupannya keliatan sangat mewah di sosial media, jadi aku berfirasat dan berpikir kalau emang suatu saat terjadi (penipuan) seperti ini dia pasti (bisa) ganti. Karena di whatsapp sendiri dia selalu bikin story kalau dia itu punya uang banyak," kata korban (A) saat dimintai keterangan pada 26/11/2023.
Kedua korban masih mempercayai JZF dan mengikuti lelang arisan ini meski tidak ada proses registrasi dan jaminan dari JZF. Jika seperti ini, apakah R (20) dan A (21) memang benar 'korban'? Dan apakah JZF sepenuhnya bersalah atas kejadian ini?
Hal ini dapat dikategorikan sebagai penipuan jika memang ada niatan dari JZF untuk menipu. Namun dari keterangan korban (R) dan (A), meski tidak memberikan waktu yang pasti, JZF dan keluarga sudah membuat perjanjian bersama para korban untuk melakukan ganti rugi.
Korban yang dengan 'bodohnya' mempercayai lelang arisan ini juga dapat dikatakan bersalah, karena mereka sedari awal tidak meminta jaminan kepada JZF.
Sangat disayangkan saat JZF dilabeli sebagai 'penipu' oleh banyak orang tanpa mencari tahu bagaimana awal mula lelang arisan ini dapat terjadi.
Jika seperti ini, JZF juga dapat dikatakan sebagai korban, karena ia mendapatkan cyber bullying dan doxing dari beberapa orang di media sosial setelah kasus ini ramai dibicarakan.
Saat ada korban yang belum mendapatkan haknya dari JZF, tentu saja harus dibantu proses penyelesaiannya. Namun, mengkategorikan hal ini sebagai penipuan bukanlah hal yang benar.
Ketidakmampuan JZF dalam mengelola uang arisan hanya akan mengakibatkan keterlambatan pembayaran dari waktu yang sudah dijanjikan. Hal ini tidak membuat JZF menjadi penipu seperti kata orang-orang.
Permasalahan ini pun dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan dengan membuat kesepakatan antara korban dan JZF terkait kapan uang para korban akan dikembalikan.
Sedangkan korban yang membawa kasus ini pertama kali ke media sosial dan menyebut JZF sebagai 'penipu' juga dapat dikatakan sebagai. Karena korban tidak mempertimbangkan bagaimana sanksi sosial yang akan diterima oleh JZF setelah kasus itu ramai di media sosial, yang mungkin JZF sendiri tidak bermaksud untuk menipu atau mengambil uang para korban.
Korban juga berpotensi terjerat hukuman sebagai pelaku pencemaran nama baik dan pelaku doxing karena sudah menyebarkan data pribadi JZF.
Baik JZF dan 120 orang yang menanti uangnya dikembalikan merupakan pelaku dan juga korban. JZF dapat dikatakan sebagai pelaku karena dirinya tidak mampu mengelola uang partisipan arisan dan tidak bertanggung jawab untuk mengembalikan uang arisan tersebut sesuai dengan waktu yang dijanjikan.
Namun, JZF juga merupakan korban dari 'sanksi sosial' yang diberikan segelintir orang yang tidak peduli bahwa JZF ini masih berstatus 'terduga pelaku' dan belum resmi ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus penipuan arisan ini.
'Mereka' yang mengaku sebagai korban juga merupakan pelaku dari pencemaran nama baik dan penyebaran data pribadi milik JZF. Padahal sudah ada perjanjian antara korban dan JZF yang mengatakan bahwa JZF dan keluarga akan melakukan ganti rugi.
"Korban memiliki potensi terjerat hukuman apabila menyebarkan informasi yang kebenarannya belum dapat dipastikan, sehingga berpotensi terkena pasal terkait penyebaran informasi hoax dan pasal UU ITE seperti pencemaran nama baik," kata Aipda Yuni Hermanto saat dimintai keterangan pada 8/12/2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H