[Bu, belum tidur?]
[Belum. Ini siapa?]
Saya bertanya balik, karena nama akun media sosialnya menggunakan nama buah-buahan.
[Saya Fulan, Bu. Anak kesayangan Ibu di sekolah dulu.]
Ragu menerobos begitu saja. Kalimat pendek itu berulang kali saya baca, sambil berpikir bahwa saya sedang dikerjain oleh entah siapa. Hingga akhirnya saya minta dia selfi dan benar adanya.
Alhamdulillabirobbilalamin... anak saya sudah bisa membaca dan menulis pesan. Fulan mengabarkan bahwa saat itu dia sedang bersekolah di salah satu STM swasta.Â
Hari-hari berikutnya, saya yang aktif menyapa Fulan lewat messenger dengan pertimbangan sekalian melatih dan membiasakan dia membca dan menulis.
Tahun berganti dan entah sudah dalam hitungan ke berapa saya tidak mengingatnya persis. Khabar tentang Fulan pun, kembali tak tersiar setelah akun media sosialnya tak lagi merespon pesan saya. Saya pun makin tenggelam dalam rutinitas pekerjaan.
Beberapa waktu lalu, teman karib semasa mengajar dahulu yang biasa dipanggil anak-anak dengan sebutan Mamiq, bercerita kalau dia pernah berkomunikasi dengan Fulan. Sekarang dia sudah berada di Malaysia, bekerja pada sebuah perusahan besar, dan sudah punya tabungan.
Khabar yang terakhir, menenangkan pikir saya yang khawatir jika Fulan diperlakukan tidak baik dan tidak jujur. Ah, seorang ibu, dibalik rasa bangga dan bahagia yang membuncah akan capaian anak-anaknya, selalu saja terbersit rasa khawatir berhias do'a.
Selamat untuk capaianmu, anakku. Semoga senantiasa dalam lindungan dan ridho Allah Subhanahu Wata'ala. Aamiin Allahumma Aamiin.
*Saya hanya sempat mengajar Fulan 1 tahun, tahun terakhirnya dia di SMP
_____IR75
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H