Mohon tunggu...
Siti Sanisah Rasyid
Siti Sanisah Rasyid Mohon Tunggu... Guru - Penulis jalanan

Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tidak Ada Siswa yang Bodoh

15 Oktober 2022   16:05 Diperbarui: 15 Oktober 2022   16:12 3724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mataram - Suara anak-anak usia SD-SMP menghapal ayat-ayat pendek dalam Al Qur'an dari corong masjid yang berada di kompleks perumahan terdengar jelas, karena memang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya terjeda satu blok perumahan. 

Jadi ingat, kalau minggu ini mereka sedang semangat dalam berbagai giat lomba yang diadakan panitia peringatan maulid Nabi Besar Muhammad Sallalahualaihiwassalam.

Tingkat kelancaran dan kefasihan masing-masing anak tentu tidak sama, mereka masih dalam tahap belajar. Mengindikasikan bahwa karakteristik individu memang sangat variatif, tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga kognitif, sikap, dan beragam kemampuan lainnya. Lomba seperti ini menjadi ruang belajar plus evaluasi terbuka bagi kemampuannya.

Suara mereka mengantar perjalanan pikir saya ke masa sebelumnya, ketika masih menjadi pendamping anak-anak belajar di salah satu SMP yang berada di daerah pinggiran. 

Suasana sekolah secara umum sangat baik, dengan interaksi harmonis antarpendidik, antarsiswa, juga antara pendidik dan siswa. Salah seorang anak didik yang saya kenal baik, memiliki karakter unik yang cukup kontras dengan temannya.

Saya sebut saja dia Fulan. Dalam kesehariannya, Fulan merupakan anak yang penurut, senantiasa rapi, sopan, dan hampir tidak pernah terlambat datang ke sekolah. 

Tidak sekali pun Fulan berulah dengan sengaja yang berpotensi membuat bapak dan ibu gurunya marah. Setiap berpapasan dengan teman atau pun guru, senyumnya akan tetap terkembang, terlebih kepada guru, senyumnya mesti dihiasi dengan sikap hormat.

Sikap kepada temannya pun demikian. Fulan anak sopan yang baik hati, memiliki kesabaran entah tingkat berapa sehingga sering menjadi korban "candaan" teman-temannya yang kadang juga kelewat batas. Luar biasanya, Fulan selalu memaafkan, seolah manusia tanpa amarah dan dendam.

Setiap pagi, Fulan dengan suka rela menggelar tikar dan menyediakan perlengkapan lain di teras sekolah untuk kegiatan baca Al Qur'an bersama. 

Atas arahan kepala sekolah, sekolah kami memang mengadakan kegiatan baca Al Qur'an setiap pagi, sekitar pukul 07.15 wita, melibatkan karyawan, pendidik dan juga siswa tanpa terkecuali (seluruh penghuni sekolah beragama Islam).

Sebalik luar biasanya perilaku dan karakter Fulan, ia memiliki "kelebihan" lain, Fulan menyelesaikan pendidikannya di SMP dalam waktu 5 tahun. Ya, ia termasuk anak kami yang mengalami very slow learner. 

Hingga tamat SMP pun, Fulan hanya mampu menulis nama dan kelasnya dengan benar tanpa melihat atau menyontek. Selebihnya, Fulan harus melihat contoh tulisan dulu baru dapat menyalinnya. Jangan tanya bentuk dan kerapian tulisannya.

Namun, daya ingatnya sangat kuat. Suatu ketika, saya yang mengajar IPS Terpadu meminta semua siswa menghapal teks Pancasila, Proklamasi, dan UUD 1945 dalam kurun waktu seminggu. 

Sadar dengan kondisi Fulan, saya pun meminta bantuan temannya untuk membuat rekaman suaranya ketika membaca ketiga teks tersebut pada handphone Fulan. Seminggu berikutnya, hanya 6 orang anak (Fulan bersama lima temannya) yang mampu menghapal teks tersebut dengan baik.

Sejak saat itu, pola pembelajaran saya ubah total khusus untuk Fulan dan satu orang temannya (lain waktu saya bahas). Saya mulai menyadari bahwa cara mengajar biasa tidak akan berpengaruh pada proses dan hasil belajar anak saya yang luar biasa. 

Dibutuhkan pendekatan dan metode belajar yang mengkombinasikan critical point pada teori belajar behavioristik, kognitif, dan humanistik untuk menyelesaikan masalah ini secara perlahan. Setidaknya dapat berperan untuk memompa self confidence dan motivasi belajar Fulan, karena memang proses belajar bukan perkara sim salabim yang dapat dituntaskan dalam sesaat.

Sebagaimana disampaikan Howard Gardner, bahwa setiap individu memiliki jenis kecerdasaan sama yang disebut multiple intelligence, artinya Fulan juga memiliki itu sebagaimana individu lainnya. 

Hanya saja dibutuhkan kemauan, waktu, ketekunan, latihan, dan dukungan dalam berbagai bentuk untuk membuat ragam kecerdasannya itu muncul. Tidak harus sempurna, karena memang sejatinya tidak ada manusia yang sempurna. Untuk itu harus ada orang yang menemani Fulan melalui masa itu.


Pada saat belajar biasa, ketika temannya asyik mengerjakan tugas, saya mendekati Fulan mengajaknya membuka buku paket dan melihat gambar yang ada. Bersamaan dengan itu saya "ceritakan" maksud gambar itu dalam bahasa campuran (Sasak dan Indonesia). Ternyata, rasa ingin tahu dan daya tangkapnya tidak mengecewakan.

Pada kesempatan tertentu, biasanya ketika jam istirahat. Saya sering mendekati Fulan dan mengajak ngobrol tentang banyak hal, dominan tentang "cerita" saya mengenai gambar di buku yang saya ceritkan di kelas. Alhamdulillah Fulan mengingatnya dengan baik, meski "cerita" versi Fulan lebih banyak disampaikan dalam Bahasa Sasak. Tak mengapa, yang penting Fulan paham.

Cara evaluasi (ujian) pun saya sesuaikan. Kepada Fulan saya dominan melakukan evaluasi dengan cara lisan dan unjuk kerja. Alhamdulillah, hasilnya cukup memuaskan.

Hingga moment peringatan maulid Nabi Besar yang bersamaan dengan saat-saat pembagian raport dan pengumuman kelulusan di sekolah kami berlangsung, anak-anak juga berada dalam situasi seperti yang saya hadapi sekarang. Lomba azan, cerdas cermat, hapal ayat pendek, dan lomba lainnya diikuti dengan antusias.

Saya dikagetkan oleh suara MC yang mengumumkan bahwa juru bicara salah satu kelompok dalam cerdas cermat itu adalah Fulan. Saya sampai keluar dari ruang guru untuk memastikan, dan memang pendengaran saya tidak keliru. Ah, Fulan yang berlomba koq saya yang berdebar-debar, bangga dan khawatir.

Kekhawatiran itu terbayar lunas dengan meningkatnya rasa bangga saya ketika kelompok Fulan diumumkan sebagai pemenang dan juara I. Bukan berarti saya tidak bangga pada capaian anak-anak saya yang lain, mereka semua anak-anak yang hebat dan membanggakan. 

Terlebih ketika Fulan datang ke hadapan saya sambil menyampaikan bahwa kelompoknya menjadi juara. Tak terkira rasa syukur saya memiiki anak-anak didik berbakat dan mampu mengekspresikan kemampuannya dengan cara mereka masing-masing.

Saya sangat menyadari, setiap individu memiliki karateristik dan tingkat kemampuan yang berbeda. Allah menciptakan kita dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing agar dapat saling melengkapi satu sama lain. 

Di sisi berbeda, Allah juga memberikan kita ruang sama dan rahasia masa depan yang tidak dapat kita ungkapkan. Ya, masa depan adalah rahasia agung dari yang Maha Agung.

Tiba saat rapat dewan guru untuk membahas penentuan kenaikan kelas dan kelulusan siswa. Sebagian besar guru menginginkan agar Fulan tidak diluluskan, artinya akan menjadi tahun ke-6 Fulan berada di sekolah ini.

 Beberapa orang setuju dengan usul salah seorang kawan agar Fulan tidak diluluskan dan dipindahkan ke sekolah lain agar tidak menjadi beban sekolah kami setiap tahun. Sementara saya bersama tiga orang teman yang lain tetap ngotot agar Fulan diluluskan saja.

Perdebatan panjang dan alot beraroma amarah dengan argumentasi masing-masing dari ketiga kubu ini tidak dapat dielakkan lagi. Bahkan, sisi pikir objektif sudah berbaur bebas dengan subjektifitas yang tinggi. Pada akhirnya, diputuskan bahwa Fulan akan diluluskan.

Sejak hari perpisahan di sekolah, kemudian saya pindah tempat tugas, praktis khabar tentang Fulan menjadi terlewati begitu saja. Dia seperti menghilang begitu saja. Bagi guru, itu sudah hal yang lazim terjadi. Setiap tahun, selalu ada anak baru yang datang, dan anak yang lulus pun akan pergi berpindah tempat.

Hingga suatu ketika pada Bulan Ramadhan, sekitar 3-4 tahun berselang. Pada tengah malam, saya mendapat kiriman pesan di messenger.


[Bu, belum tidur?]
[Belum. Ini siapa?]
Saya bertanya balik, karena nama akun media sosialnya menggunakan nama buah-buahan.
[Saya Fulan, Bu. Anak kesayangan Ibu di sekolah dulu.]

Ragu menerobos begitu saja. Kalimat pendek itu berulang kali saya baca, sambil berpikir bahwa saya sedang dikerjain oleh entah siapa. Hingga akhirnya saya minta dia selfi dan benar adanya.

Alhamdulillabirobbilalamin... anak saya sudah bisa membaca dan menulis pesan. Fulan mengabarkan bahwa saat itu dia sedang bersekolah di salah satu STM swasta. 

Hari-hari berikutnya, saya yang aktif menyapa Fulan lewat messenger dengan pertimbangan sekalian melatih dan membiasakan dia membca dan menulis.

Tahun berganti dan entah sudah dalam hitungan ke berapa saya tidak mengingatnya persis. Khabar tentang Fulan pun, kembali tak tersiar setelah akun media sosialnya tak lagi merespon pesan saya. Saya pun makin tenggelam dalam rutinitas pekerjaan.

Beberapa waktu lalu, teman karib semasa mengajar dahulu yang biasa dipanggil anak-anak dengan sebutan Mamiq, bercerita kalau dia pernah berkomunikasi dengan Fulan. Sekarang dia sudah berada di Malaysia, bekerja pada sebuah perusahan besar, dan sudah punya tabungan.

Khabar yang terakhir, menenangkan pikir saya yang khawatir jika Fulan diperlakukan tidak baik dan tidak jujur. Ah, seorang ibu, dibalik rasa bangga dan bahagia yang membuncah akan capaian anak-anaknya, selalu saja terbersit rasa khawatir berhias do'a.

Selamat untuk capaianmu, anakku. Semoga senantiasa dalam lindungan dan ridho Allah Subhanahu Wata'ala. Aamiin Allahumma Aamiin.

*Saya hanya sempat mengajar Fulan 1 tahun, tahun terakhirnya dia di SMP

_____IR75

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun