Mohon tunggu...
Siti Sanisah Rasyid
Siti Sanisah Rasyid Mohon Tunggu... Guru - Penulis jalanan

Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Paradoks dalam Pemerintahan yang Harus Diperhatikan

29 Mei 2022   09:11 Diperbarui: 29 Mei 2022   09:20 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataram - Istirahat setelah usai membersihkan halaman di rumah ibu dengan mencabuti rimbunan rumput yang tumbuh tak beraturan adalah pilihan logis untuk mengisi hari libur. Duduk santai di teras depan, ditemani ibu yang selalu tersenyum teduh plus indahnya pemandangan areal persawahan yang memanjakan mata merupakan rahmat yang tak terkira. Bukan sawah kami, tapi pemandangannya bebas kami nikmati sesuka hati dengan dasar pikir yang berbeda, juga berpotensi membidani lahirnya nalar yang berbeda pula.

Tentu hal itu yang wajar dan lumrah sifatnya, karena setiap diri memiliki karakteristik yang berbeda. Pada perbedaan itu bermuara segala kekuatan dan kelebihan manusia yang sudah diberi tugas sebagai khalifah di muka bumi. Bentuk nyata keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu Wata'ala yang tak dapat dibantah.

Tidak lama, ibu beranjak ke dalam rumah dan saya pun larut dengan pikiran sendiri sambil menikmati sapaan mentari pagi yang menghangatkan. Kali ini, dalam diskusi imaginer saya fokus mendengar bisikan dari Nathan Gardels dan Nicolas Berggruen yang melejitkan gagasannya tentang Renovating Democracy: Governing in the Age of Globalization and Digital Capitalism di 2019 lalu.

Mereka menekankan bahwa sudah saatnya kita meninggalkan beragam paradoks dalam pengelolaan pemerintahan, agar masyarakat kita dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat. Tidak berjibaku dan disibukkan pada kondisi yang mencerminkan degradasi dalam berbagai aspek pemerintahan, lantas berimbas dan mengusik kenyamanan hidup masyarakat.

Paradoks dalam pemerintahan yang harus menjadi perhatian kita bersama menurut Gardels & Berggruen adalah paradoks demokrasi, renovasi kelembagaan demokrasi dan renovasi praktik demokrasi.

Fokus atensi pada paradoks demokrasi adalah kita tidak boleh lagi membiarkan demokrasi dijebak dan dibajak oleh peer driven network, sehingga demokrasi kita berpotensi berganti kulit menjadi oligarki. Imbasnya, apa yang terjadi ditengah kehidupan kita seolah-olah ditentukan oleh segelintir orang. Kompleksnya dinamika politik dan polemik di tubuh pemerintahan membuat sebagain masyarakat beropini bahwa Indonesia saat ini "kemungkinan besar" sedang berada pada kondisi tersebut. Oleh karena itu, praktik demokrasi di negara ini harus dipelihara sebaik mungkin secara seksama agar dapat menumbuhkan more participation than ever before. Demokrasi dengan kapabilitas tinggi, sehingga dapat mengeliminir setiap fake news, hate speech dan populisme yang dilandasi oleh quasi alternative fact.

Paradoks renovasi kelembagaan demokrasi pun harus diperhatikan dengan cara memperkuat institusionalisasi demokrasi, agar setiap partisipasi yang berproses dalam demokrasi menjadi benar-benar representative. Bersamaan dengan itu, proses pelembagaan demokrasi juga harus dapat memberi garansi bahwa mereka mampu mencegah praktik oligarki, bukan malah patuh pada praktik pemerintahan yang mengarah ke oligarki. Juga harus mampu membangun democratic systems yang intoleran kepada authorianisme, baik dalam bentuk praktik otoritarianisme maupun dalam bentuk authoritarian rule. Dengan begitu, trust masyarakat terhadap lembaga demokrasi dapat terpelihara dengan baik. Karena masyrakat merasa bahwa lembaga demokrasi mampu bersikap dan memposisikan diri sebagaimana mestinya.

Hal yang tidak kalah pentung adalah paradoks renovasi praktik demokrasi. Renovasi merupakan point of equilibrium between creation and destruction, kata Gardels & Berggruen. Praktik kehidupan kita sedapat mungkin mengarah ke renovasi praktik demokrasi secara reguler dan kita tidak boleh bosan melakukan itu dengan cara-cara yang konstruktif. Renovasi itu hakekatnya memperbaiki yang lama, yang sudah mulai menua, bukan merusak tatanan baru yang masih kompatibel dan sangat dibutuhkan masyarakat. Berfungsi memitigasi risiko setiap keputusan yang mengalami pengausan. Termasuk harus beradaptasi dengan positive perpetual disruptions, sehingga dapat melakukan stabilisasi kehidupan masyarakat secara bertahap.

Sebagai bagian dari masyrakat yang hidup di negara bersistem demokrasi, hal yang harus diupayakan bersama adalah memberdayakan partisipasi secara cerdas tanpa harus terjebak kepada populisme. Masyarakat juga harus bisa menghindari dari kecenderungan untuk bersikap solitarist identities yang egois. Sikap yang mengantar diri pada keyakinan atas ego bahwa  kehidupan ini milik diri sendiri, dapat dipersepsikan sendiri oleh dirinya sendiri dan berdasarkan kehendak dirinya sendiri. Sikap yang memotivasi seseorang untuk bersikap arogan dan oligarkis, seolah negara merupakan representasi kehendak dirinya sendiri.

Heterogenitas di Indonesia tidak diragukan lagi, itu pula yang membidani lahirnya slogan Bhinneka Tunggal Ika. Heterogenitas ini seharusnya mampu mendidik masyarakat untuk bisa mencegah terjadinya sikap over ego, keyakinan pada setiap orang bahwa yang penting itu adalah dirinya sendiri. Seolah di dunia ini yang penting hanya a singular dimension to existential. Orang merasakan kedigdayaan diri sendiri. Padahal dirinya sedang mengalami a deficit of dignity.

Menjadi sangat berisiko ketika individu yang cenderung dengan sikap demikian, menempati posisi strategis dalam pemerintahan. Sudah dapat dipastikan, orientasi kebijakannya dominan mengarah ke kepentingan diri dan kelompok.

Itulah urgensinya the think long, pemimpin dan juga masyarakat yang mampu bersikap dengan dasar berpikir panjang yang cerdas dan konstruktif. Masing-masing mau dan mampu berpikir jauh menjangkau masa depan untuk kebaikan bersama. Berpikir panjang melintasi batas individual dan mampu melakukan refleksi secara jujur yang berlangsung terus menerus. Mencari jawaban substantif terhadap pertanyaan untuk tujuan apa kita hidup di dunia ini? Untuk apa kita harus bermasyarakat? Mengapa kita harus hidup berdampingan? Mengapa pula kita harus mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan? Dan, sederet pertanyaan lain yang berpotensi membimbing kita menjadi manusia cerdas, bijak dan bermasyarakat.

Guna memberi jawaban terhadap beragam pertanyaan itu, seperti juga pertanyaan lainnya, tak ada pilihan yang lebih mungkin untuk bersikap selain to think long. Berpikir panjanglah. Jangan berpikir pendek sekehendak diri, karena berpikir pendek itu terbatas, terjangkau dan mudah keliru. Berpikir panjang itu jauh ke depan,  melewati tapal batas identitas sekaligus mereduksi identitas yang ada. Mengembalikan identitas kepada pemiliknya sendiri secara utuh, sebagaimana dimaksudkan oleh pencipta identitas yang sesungguhnya. Tidak memaksakan identitas diri agar diakui dan diagungkan sebagai representasi kelompok atau golongan.

Memperkuat hal tersebut, diskusi imaginer dengan Gardels & Berggreun ini pun diperkaya oleh arahan Amartya Sen (2007). Hal yang sesungguhnya dibutuhkan dalam praktik kehidupan adalah usaha kita untuk mendorong terjadinya adaptive identities yakni kesediaan untuk bersikap inklusif. Kesediaan yang didasari kesadaran atas heterogenitas, untuk kemudian dapat hidup dalam situasi yang plural dan multi-kultural. Praktik kehidupan yang diyakini mampi menampung solidaritas publik dari berbagai lapisan dengan beragam alasan.

Finally, kesadaran atas praktik kehidupan yang penuh dengan warna, penuh kegembiraan dan kebahagiaan, sehingga kita dapat hidup berdampingan secara berkeadaban perlu dikembangkan secara maksimal. Kehidupan yang di dalamnya dihuni oleh para pemikir panjang, yang tidak hanya fokus berpikir dan bertindak atas dasar kepentingan diri dan kelompoknya tetapi untuk kepentingan bersama. Kehidupan yang mampu mengeliminir paradoks-paradoks yang tidak penting dan cenderung menyesatkan. Kehidupan yang dikembalikan kepada amanah founding father yaitu bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa yang satu yaitu Indonesia.

Semoga ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun