Mohon tunggu...
Siti Sanisah Rasyid
Siti Sanisah Rasyid Mohon Tunggu... Guru - Penulis jalanan

Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintahan yang Cerdas

8 Mei 2022   15:56 Diperbarui: 8 Mei 2022   17:30 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mataram - Debat kusir, diskusi kelompok maupun seminar tentang sistem pemerintahan kita tidak sekali dua kali digelar. Tidak hanya menjadi jualan politik, tetapi juga menjadi menu menarik di ruang akademik. 

Bahkan menjadi sajian pelengkap pada obrolan ringan sembari minum kopi plus merokok di emperen warung pojok yang beratap bocor, tanpa dinding dan cukup bermodal seribu rupiah. Mereka yang mendesain agar isu ini menjadi pembahasan publik dengan santai menggiring masyarakat ke kotak simulacra yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Agar lebih mudah dan publik mengkonsumsi dengan suka rela, para desainer tentu juga sudah mengantisipasi segala kemungkinan, karena sudah disimulasikan sebelum dilempar ke publik. Simulasi dan simulacra memang dua hal yang tak dapat dipisahkan, saling melengkapi satu sama lain. 

Tidak salah jika Jean Baudrillrad (1985) mewanti-wanti masyarakat agar tetap kritis dan cerdas sehingga dapat mengantisipasi jebakan untuk tidak masuk dalam dua kotak tersebut terlebih jika sudah dihubungkan dengan media. 

Baudrillrad menyadari bahwa realitas yang tersaji pada media adalah realitas semu, kebenaran dimanipulasi sedemikian rupa agar masyarakat mengikuti dan mengkonsuminya dengan suka rela tanpa menyadari atau mengetahui realitas yang sesungguhnya.

Larisnya tema sistem pemerintahan dalam berbagai ruang diskusi dan perdebatan, memberitahukan kepada kita bahwa masalah ini memang diperhatikan dan dipertanyakan oleh banyak pihak. 

Mereka masing-masing dengan latar belakang, kepentingan dan tujuan menuntut dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya terhadap sistem pemerintahan yang sedang berjalan. 

Jiwa pembahas yang sudah mencapai titik kritis kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan bahkan menyampaikan dengan lugas bahwa ada yang salah dengan sistem pemerintahan kita. Sementara yang lain  menyampaikan dengan cara lebih soft melalui pertanyaan "Apakah ada yang salah dengan sistem pemerintahan?"

Sudah tentu bahwa pernyataan dan pertanyaan tersebut merupakan representasi kehendak bersama atas "bringing societies back into balance". Dengan koor ini, publik ingin menyampaikan bahwa mereka sudah jenuh dan tidak membutuhkan banyak tontonan drama dan dagelan yang dominan diisi dengan upaya "pemaksaan" ide dan ego personal. Tak juga menginginkan, apa lagi merasa perlu adanya ledakan populasi hingga tumpah ruah ke jalanan yang berpotensi memporakporandakan sistem.

Masyarakat hanya butuh sebuah sistem yang mampu mengendalikan kehidupan bersama, memberikan keamanan dan kenyamanan di dalam masyarakat. 

Sebuah sistem yang mampu mengurus dirinya sebagai sistem dan memposisikan masyarakat sebagai bagian yang terikat dengan sistem tersebut secara bijak. Bukan sistem yang justru semangat melakukan berbagai aktivitas yang berdampak destruktif bagi sistem itu sendiri, plus subsitem dan suprasistemnya.

Sistem pemerintahan sehat yang diinginkan oleh publik sesungguhnya bukan hal mengada-ada, bukan yang melampaui batas ideal sehingga tidak mungkin untuk dicapai. 

Publik hanya ingin memastikan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan benar-benar dikendalikan secara genuine oleh sistem, bukan oleh anasir sistem atas dasar ide dan ego personal lantas bertindak atas nama sistem. 

Kendali genuine oleh sistem tersebut berperan sebagai filter terhadap segenap perilaku yang nyeleneh, abnormal, destruktif dan melanggar aturan sistem menjadi tertolak. 

Artinya, sistem tersebut harus benar-benar bekerja nyata dan rata tanpa diskriminasi, tidak tebang pilih terhadap semua pelanggar dan pelanggaran. Sistem bekerja mengatur semua segmen dalam praktik kehidupan yang dijalani publik, termasuk juga mengendalikan equilibrium dalam praktik kehidupan publik dan personal. 

Sekali lagi, tanpa ada dominasi terhadap personal atau kelompok tertentu, tidak juga dominasi personal tertentu terhadap publik. Bukankah, idealnya hal yang personal menjadi milik diri sendiri, merupakan hak asasi diri sendiri? Maka, hal yang sifatnya publik harus menjadi milik publik, dipelihara bersama untuk kepentingan bersama juga. Jangan dipertukarbalikkan.

Guna mewujudkan sistem pemerintahan yang demikian, republik membutuhkan banyak orang yang memiliki kapasitas sebagai pemikir dan pekerja cerdas yang mampu berpikir panjang . Bukan insan yang senang grasak grusuk, berucap dan bertindak tidak sinkron. 

Para pemikir ini adalah mereka yang mampu memberikan sounding khas dalam meneriakkan kembali kebersamaan. Menyadarkan masyarakat akan pentingnya kehidupan nyaman yang non-partisan. Mampu memperbanyak dan memperluas ide, gagasan dan sikap non-partisan. 

Bagaimana pun juga, publik membutuhkan sistem pemerintahan yang baik dan ajeg, pemerintahan yang damai dan memelihara sikap non-partisan. Pemerintahan kuat yang mampu berdiri kokoh dalam jejak tumpuan kaki yang non-partisan karena memang negara lahir dan pemerintahan berjalan bukan atas dasar upaya sekelompok orang sehingga pemerintahan diarak menuju kutub personalisasi. Masyarakat mengharap pemerintahan yang pro publik, yang mampu"bringing societies back into balance" bukan pemerintahan yang doyan pencitraan dan populisme.

Sistem pemerintahan yang demikianlah yang umumnya diharapkan masyarakat, pemerintahan yang dikelola oleh mereka yang mau dan mampu berpikir panjang. 

Pemerintahan yang awas dalam melihat sekian problema secara jernih serta mampu mengeksekusi solusi secara cerdas dan tuntas untuk jangka waktu panjang. Senantiasa berupaya untuk melakukan "citizen-driven reforms", sebagaimana yang pernah dimimpikan oleh para founding fathers. 

Pemerintahan dengan birokrasi yang bergerak selaras dalam koridor prinsip good governance yang jujur, transparan, demokratis, deleberasi dan akuntabel.   Sehingga mampu memelihara kepentingan publik dengan model yang disebut "the citizen initiative process". Model yang menempatkan kepentingan personal (emosi, kehendak) diisolasi oleh dirinya sendiri, dan setelah itu, ia meletakan kepentingan bersama kewargaan di atas segalanya.

Dengan demikian, dapat kita harapkan distingsi antara mayoritas dan minoritas menjadi sumir, perlahan melebur dan melekat dalam sebuah " a common network of the feeling".

Salah satu konsekuensi logis dari kehendak dan tuntutan publik terhadap sistem pemerintahan dan pemerintah ini adalah berkembangnya keterampilan para pemimpin (masyarakat, pemerintahan, tokoh, elite) untuk memberi penilaian yang bermutu. 

Pemerintah harus dapat memberi tanggapan dan penilaian yang bermutu terhadap setiap perkembangan situasi (lama maupun baru), tidak melakukannya secara serampangan terlebih tanpa pemahaman yang jelas terhadap situasi. Kualitas penilaian yang disampaikan pemerintah akan menjadi faktor penentu perhatian dan trust publik. 

Semakin tidak berkualitas tanggapan atau penilaian yang disampaikan, maka perkembangan kehidupan dan trust masyarakat pun akan semakin buruk. Hal ini dapat berlaku sebaliknya, kian baik penilaiannya, semakin berkembang kehidupan dan trust masyarakat ke dalan situasi dan kondisi yang juga sehat. Gardels and Berggruen (2019) menyebut kemampuan pemerintahan seperti itu sebagai sebuah "intelligent governance"; dimana "quality of judgment among leading political figures" menyebar di tengah kehidupan masyarakat. Kita berharap Republik Indonesia dapat memasuki fase itu secepat mungkin.

Semoga ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun