Mohon tunggu...
Siti Rohayah
Siti Rohayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Mahasiswi

Mahasiswa aktif-fakultas syariah

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku (Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga)

7 Maret 2023   11:29 Diperbarui: 7 Maret 2023   11:52 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.gramedia.com/products/hukum-islam-dinamika-seputar-hukum-keluarga

Judul         : Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga

Penulis     : Aulia Muthiah

Penerbit  : Pustaka Baru Press

Terbit       : 2017

Cetakan   : 2022

Buku tulisan karya Aulia Muthiah (selanjutnya penulis) yang berjudul Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga mendiskripsikan tentang Hukum Islam dengan berfokus pada pembahasan hukum perkawinan, hukum kewarisan, harta kekayaan dalam perkawinan, wasiat, dan hibah. Buku ini mengkaji tentang teori yang berlandaskan pada pendapat para fuqaha dan dipadukan dengan peraturan yang ada didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Hukum keluarga bertujuan untuk mengatur hubungan antara seluruh anggota keluarga, dimulai dari adanya perkawinan hingga berakhirnya suatu perkawinan yang bisa disebabkan oleh kematian maupun perceraian.Namun, persepsi nilai-nilai di dalam hukum keluarga tidak selalu dapat dipahami dengan benar oleh setiap orang. Tujuan dari hukum keluarga ini adalah untuk mengatur hubungan antara seluruh anggota keluarga. Bermula dari keluarga yang terbentuk atas dasar ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan. Akan timbul suatu hubungan kewarisan, sehingga sangat wajar hukum keluarga menjadi salah satu dari permasalahan negara yang memerlukan hukum positif untuk mengaturnya.

Untuk sistematisnya, penulis membagi dalam 9 (sembilan) bab, hal tersebut dimaksudkan agar penulis dapat menyampaikan informasi secara lengkap dan terperinci.

Hukum Islam sebagai fiqh yang menjadi salah satu disiplin ilmu. Pada zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup, penetapan hukum ini belum mendapat bentuk tertentu. Hukum Islam pada masa itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan atau perilaku Nabi SAW, dan berupa wahyu dari Allah yang disampaikan pada Nabi SAW atau hasil musyawarah para sahabat yang dianggap sah sebagai suatu penetapan hukum.

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada nilai keislaman yang mana dibentuk dari dalil-dalil agama Islam. Ini berupa ketetapan, kesepakatan, larangan, anjuran, dan sebagainya. Aturanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah Swt sebagai Tuhannya, hubungan antar manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain.

Hukum Islam bersumber dari: pertama, Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam sekaligus sumber hukum Islam pertama dan paling utama. Kedua, As-Sunnah merupakan cara hidup Nabi Muhammad SAW mulai dari perkataan atau ucapan Nabi SAW (sunnah qauliyah), perbuatannya (sunnah fi’liyah), dan keadaan diam beliau ketika ditanya atau melihat sesuatu (sunnah sukuti atau taqririyah). Dan ketiga, Ijtihad yang terdiri dari beberapa metode seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, urf (adat), dan dzari’ah.

Tujuan hukum Islam sebenarnya adalah untuk kemaslahatan hidup manusia baik rohani maupun jasmai, individual, dan sosial. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam (maqasid syariah) yang meliputi memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Ide Kompilasi Hukum Islam (KHI) muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang justisial Peradilan Agama. Selama pembinaan teknis justisial oleh Mahkamah Agung terdapat beberapa kelemahan seperti hukum Islam yang diterapkan cenderung simpang siur karena perbedaan pendapat ulama hampir setiap persoalan. Untuk mengatasinya, perlu ada buku hukum yang menghimpun seluruh hukum terapan untuk dijadikan pedoman oleh para hakim dilingkungan peradilan.

Dalam perumusan KHI, sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah, memuat berbagai ajaran dasar yang menjadi pedoman hidup manusia. Prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam kedua sumber hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Apabila terdapat hal-hal yang ketentuannya tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka para perumus dapat mengembangkan garis hukum baru, mengambil bahan dari penalaran para fuqaha yang ada dalam kitab fiqh. Sistematika KHI itu memuat 3 ketentuan hukum materiil Islam yaitu ketentuan-ketentuan perkawinan (munakahat), hukum kewarisan (faraid) dan hukum perwakafan.

Di dalam hukum Islam juga menghendaki adanya khitbah atau pinangan untuk melengkapi cinta antara pasangan yang akan mengadakan akad nikah. Khitbah adalah permintaan laki-laki untuk memiliki seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam kebersamaan hidup atau dapat diartikan seorang laki-laki menampakkan cintanya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’.

Perkawinan yang merupakan bagian dari hukum perdata karena mengatur hubungan antara orang dengan orang. Hukum perkawinan yang terdapat dalam KHI mempunyai 7 asas, yaitu: asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal; asas keabsahan perkawinan; asas monogami terbuka; asas calon suami istri telah matang jiwa raganya; asas mempersulit terjadinya perceraian; asas keseimbangan hak dan kewajiban suami istri; dan asas pencatatan perkawianan. Rukun perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri karena bila salah satu rukun tidak ada, maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan, rukun tersebut meliputi calon suami, calon istri, wali nikah, 2 orang saksi, dan ijab qabul. Kemudian adanya mahar yang diberikan calon suami pada calon istri baik itu berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Batalnya perkawinan dikarenakan Nikahul Fasid (pernikahan yang rusak) yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat sahnya untuk melaksanakan perkawinan. Adanya wanita yang haram dinikahi selamanya sebab pertalian nasab, kerabat semenda, dan sesusuan serta wanita yang haram dinikahi sementara (pasal 40 KHI) seperti wanita yang msih ada ikatan perkawinan, dalam masa iddah, dan wanita yang tidak beragama Islam.

Pada pasal 113 KHI, perkawinan dapat putus karena: (1) Kematian, bila yang meninggal adalah suami, maka istri harus beriddah selama 4 bulan 10 hari dan jika keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan anaknya; (2) Perceraian, dalam istilah agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan; (3) Atas putusan pengadilan atau fasakh, fasakh adalah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami istri sehingga tidak sanggup melanjutkan kehidupan rumah tangga. Ini bisa terjadi karena adanya syarat yang tidak dipenuhi pada akad nikah atau hal lain yang membatalkan perkawinan. Li’an itu dimana suami menuduh isteri berzina tanpa bisa menghadirkan 4 orang saksi dan bersumpah untuk apa yang ia katakan. Setelah berpisah dengan suami, akan ada masa dimana perempuan menghitung masa bersihnya yang disebut masa iddah.

Rujuk artinya kembali pada istri yang telah diceraikan, baik masih dalam masa iddah atau setelah dinikahi orang lain lalu diceraikan kembali. Rukun rujuk terdiri dari: istri dengan keadaan yang disyariatkan; keinginan suami sendiri tanpa paksaan; saksi; dan sigat atau lafaz.

Ketika suami istri berpisah, baik karena kematian atau cerai, maka akan muncul hak asuh terhadap anak atau perwalian anak. Hak asuh anak berarti pemeliharaan terhadap anak-anak yang masih kecil atau sudah besar tetapi belum mumayyiz, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. Seseorang yang dibebani hak asuh harus mengurus seluruh keperluan anak asuhnya, berkewajiban untuk mendidik anak supaya memiliki akhlak yang baik serta memelihara harta bendanya yang akan berguna untuk kehidupannya sampai dewasa (sampai mampu mengurus sendiri).

Pada kajian hukum perkawinan ada istilah harta bawaan dan harta bersama. Harta bawaan itu diperoleh diluar atau dalam suatu perkawinan dan merupakan harta pribadinya. Sedangkan harta bersama itu akad nikah terlaksana secara otomatis menadi harta bersama atau harta gonogini. Tujuan pembagian ini untuk menetapkan bagian masing-masing suami istri dan dalam pewarisan diperlukan guna menetapkan harta yang dikategorikan harta peninggalan. Pembagian harta bersama dapat dilakukan melalui peradilan agama atau musyawarah.

Didalam KHI, membedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Dan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Hukum Waris Islam adalah seperangkat aturan tentang proses pembagian harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia dan menentukan ahli waris yang berhak untuk mendapatkan harta warisan tersebut dan juga ilmu ini mempelajari bagian masing-masing dari harta peninggalan sesuai ketetapan ajaran Islam.

Terdapat lima asas pada hukum waris Islam, yaitu: (1) Asas Ijbari berarti pengalihan harta ketika pewaris meninggal dan tanpa kehendak pewaris, tapi berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah Swt; (2) Asas Bilateral berarti ahli waris mendapat warisan melalui 2 jalur atau dua belah pihak; (3) Asas Individual berarti harta warisan dibagi untuk dimiliki secara perseorangan; (4) Asas keadilan berimbang berarti adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluannya; dan (5) Asas semata akibat kematian berarti kewarisan sebagai akibat adanya kematian. Sebelum pembagian harta warisan, terdapat beberapa kewajiban yang perlu dilakukan ahli waris terhadap pewaris yaitu mengurus jenazah pewaris, membayar utang pewaris, dan melaksanakan wasiat pewaris. Untuk rukun waris itu meliputi harta warisan (mauruts atau tirkah), pewaris (muwarits), dan ahli waris (waarits). Menurut beberapa literatur hukum Islam, seseorang  dapat mewarisi harta warisan dikarenakan hubungan keturunan atau nasab; hubungan pernikahan; perbudakan; dan hubungan sesama muslim. Dan sebab tidak mendapat waris itu dikarenakan membunuh pewaris dan murtad atau keluar dari agama Islam.

Kewarisan anak adopsi dan anak tiri. Dalam pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak angkat adalah anak yang hak-haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan dan penetapan pengadilan. Didalam perspektif hukum Islam anak angkat bukan sebagai ahli waris, ia akan mendapatkan harta peninggalan orang tua angkatnya dengan jalan wasiat wajibah, begitu pula sebaliknya, orang tua angkat juga mendapatkan harta anak angkatnya dengan jalan wasiat wajibah. Anak tiri adalah anak dari pasangan suami atau istri yang berada dalam tanggungannya. Anak tiri menjadi tanggung jawab orang tua tirinya apalagi jika salah satu orang tuanya meninggal, namun dalam proses kewarisan anak tiri tidak dapat mendapat harta warisan karena tidak ada hubungan keturunan yang menjadi sebab kewarisan, tapi bisa melalui jalur wasiat atau hibah.

Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Pemberian wasiat wajibah tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan (tirkah).

Wasiat adalah perkataan seseorang kepada orang lain untuk memberikan hartanya, membebaskan hutang atau memberikan manfaat dari barang miliknya setelah meninggal dunia atau penyerahan harta secara suka rela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi atau manfaat. Sayyid Sabiq menyebutkan rukun wasiat hanya penyerahan dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu. Sedangkan menurut Ibnu Rusyd dan Abdur Rahman al Jaziry bahwa rukun wasiat ada empat hal yaitu orang yang berwasiat (al-musi), orang yang menerima wasiat (al musalah), barang yang diwasiatkan (al-musalih) dan shigat atau ikrar.

Sayyid Sabiq merumuskan hal-hal yang dapat membatalkan wasiat yaitu pewasiat menderita sakit gila hingga dia meninggal dunia, penerima wasiat meninggal terlebih dahulu daripada pewasiat, dan benda yang akan diwasiatkan rusak atau musnah.

Selanjutnya terkait hibah, dalam KHI pasal 171 huruf G hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Rukun hibah ada pemberi hibah, penerima hibah, sesuatu (harta) yang dihibahkan, dan ijab qabul atau sigat. Untuk kadar hibah, menurut KHI batas maksimal pemberian hibah adalah sepertiga dari harta yang dimiliki.

Bahwasanya didalam hukum islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal hukum perkawinan; hukum kewarisan; kekayaan dalam perkawinan; wasiat dan hibah. Dengan membaca buku ini menambah wawasan saya terkait hal-hal diatas, terutama dalam penyelesaian permasalahan kasus terkait hukum perkawinan atau kewarisan yang berlandaskan pada aturan Islam.

Nama   : Siti Rohayah

NIM    : 212121078

Kelas   : HKI 4C

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun