Didalam KHI, membedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Dan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Hukum Waris Islam adalah seperangkat aturan tentang proses pembagian harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia dan menentukan ahli waris yang berhak untuk mendapatkan harta warisan tersebut dan juga ilmu ini mempelajari bagian masing-masing dari harta peninggalan sesuai ketetapan ajaran Islam.
Terdapat lima asas pada hukum waris Islam, yaitu: (1) Asas Ijbari berarti pengalihan harta ketika pewaris meninggal dan tanpa kehendak pewaris, tapi berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah Swt; (2) Asas Bilateral berarti ahli waris mendapat warisan melalui 2 jalur atau dua belah pihak; (3) Asas Individual berarti harta warisan dibagi untuk dimiliki secara perseorangan; (4) Asas keadilan berimbang berarti adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluannya; dan (5) Asas semata akibat kematian berarti kewarisan sebagai akibat adanya kematian. Sebelum pembagian harta warisan, terdapat beberapa kewajiban yang perlu dilakukan ahli waris terhadap pewaris yaitu mengurus jenazah pewaris, membayar utang pewaris, dan melaksanakan wasiat pewaris. Untuk rukun waris itu meliputi harta warisan (mauruts atau tirkah), pewaris (muwarits), dan ahli waris (waarits). Menurut beberapa literatur hukum Islam, seseorang  dapat mewarisi harta warisan dikarenakan hubungan keturunan atau nasab; hubungan pernikahan; perbudakan; dan hubungan sesama muslim. Dan sebab tidak mendapat waris itu dikarenakan membunuh pewaris dan murtad atau keluar dari agama Islam.
Kewarisan anak adopsi dan anak tiri. Dalam pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak angkat adalah anak yang hak-haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan dan penetapan pengadilan. Didalam perspektif hukum Islam anak angkat bukan sebagai ahli waris, ia akan mendapatkan harta peninggalan orang tua angkatnya dengan jalan wasiat wajibah, begitu pula sebaliknya, orang tua angkat juga mendapatkan harta anak angkatnya dengan jalan wasiat wajibah. Anak tiri adalah anak dari pasangan suami atau istri yang berada dalam tanggungannya. Anak tiri menjadi tanggung jawab orang tua tirinya apalagi jika salah satu orang tuanya meninggal, namun dalam proses kewarisan anak tiri tidak dapat mendapat harta warisan karena tidak ada hubungan keturunan yang menjadi sebab kewarisan, tapi bisa melalui jalur wasiat atau hibah.
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Pemberian wasiat wajibah tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan (tirkah).
Wasiat adalah perkataan seseorang kepada orang lain untuk memberikan hartanya, membebaskan hutang atau memberikan manfaat dari barang miliknya setelah meninggal dunia atau penyerahan harta secara suka rela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi atau manfaat. Sayyid Sabiq menyebutkan rukun wasiat hanya penyerahan dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu. Sedangkan menurut Ibnu Rusyd dan Abdur Rahman al Jaziry bahwa rukun wasiat ada empat hal yaitu orang yang berwasiat (al-musi), orang yang menerima wasiat (al musalah), barang yang diwasiatkan (al-musalih) dan shigat atau ikrar.
Sayyid Sabiq merumuskan hal-hal yang dapat membatalkan wasiat yaitu pewasiat menderita sakit gila hingga dia meninggal dunia, penerima wasiat meninggal terlebih dahulu daripada pewasiat, dan benda yang akan diwasiatkan rusak atau musnah.
Selanjutnya terkait hibah, dalam KHI pasal 171 huruf G hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Rukun hibah ada pemberi hibah, penerima hibah, sesuatu (harta) yang dihibahkan, dan ijab qabul atau sigat. Untuk kadar hibah, menurut KHI batas maksimal pemberian hibah adalah sepertiga dari harta yang dimiliki.
Bahwasanya didalam hukum islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal hukum perkawinan; hukum kewarisan; kekayaan dalam perkawinan; wasiat dan hibah. Dengan membaca buku ini menambah wawasan saya terkait hal-hal diatas, terutama dalam penyelesaian permasalahan kasus terkait hukum perkawinan atau kewarisan yang berlandaskan pada aturan Islam.
Nama  : Siti Rohayah
NIM Â Â : 212121078
Kelas  : HKI 4C