Merkuri atau raksa (bahasa latin: Hydrargyrum, air/cairan perak) merupakan salah satu unsur kimia dengan simbol Hg dan nomor atom 80 pada tabel periodik. Unsur golongan logam transisi ini merupakan logam yang terbentuk secara alami dan satu-satunya logam berubah menjadi wujud cair pada suhu kamar.Â
Raksa merupakan logam  logam berat bersama dengan Perak (Ag), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd). Logam murninya berwarna keperakan berupa cairan tak berbau dan mengkilap. Bila dipanaskan sampai suhu 357oC air raksa akan menguap. Raksa merupakan unsur kimia yang sukar mengalami proses pelapukan baik secara fisika, kimia maupun biologi (tahan urai). Di lingkungan, walaupun kadarnya rendah, dapat diabsorbsi dan terakumulasi melalui proses biologi. Merkuri terbentuk secara alami di kerak bumi dan terus menerus dilepaskan ke geosfer melalui aktivitas vulkanik dan erosi batuan yang konstan. Kelimpahan Hg di bumi menempati di urutan ke-67 di antara elemen lainnya pada kerak bumi.
Unsur merkuri sendiri telah dikenal berbahaya dan mengancam kehidupan manusia sejak terjadinya tragedi Minamata. Minamata merupakan nama sebuah teluk yang terletak di kota Minamata, Kumamoto Perfecture, Jepang. Tragedi ini terjadi di tahun 1953 akibat pencemaran yang dilakukan perusahaan baterai  perusahaan pabrik baterai Chisso corp. Dalam perkembangannya perusahaan tersebut menghasilkan limbah metil merkuri (Methyl mercury) yang mencemari perairan laut di teluk Minamata, dimana penduduk di daerah tersebut banyak mengkonsumsi ikan dari teluk tersebut.  Limbah yang dikeluarkan oleh memberikan dampak buruk bagi penduduk sekitar yang berdekatan dengan perusahaan tersebut. Beberapa dari mereka  mengalami kerusakan saraf dan organ lainnya. Mengingat seberapa berbahayanya merkuri bila terpapar dan masuk ke dalam tubuh manusia, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun telah  menggolongkan unsur Hg ke dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dengan karakteristik beracun, karsinogenik dan berbahaya bagi lingkungan dengan penggunaan yang terbatas.
Merkuri atau raksa (Hg) merupakan unsur logam yang sangat penting dalam teknologi di abad modern saat ini. Namun demikian, perkembangan prosedur industri dan teknologi telah meningkatkan mobilisasi merkuri secara dramatis sejak revolusi industri. Pelepasan merkuri ke lingkungan telah mendapat perhatian yang cukup besar dari para peneliti dan badan hukum karena efeknya yang merugikan bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Dalam daftar substansi prioritas yang direvisi oleh Badan Zat Beracun dan Pendaftaran merkuri telah menempati peringkat ke-3 berdasarkan frekuensi, toksisitas, dan potensi paparan terhadap manusia.
Permasalahan Merkuri terhadap lingkungan di Indonesia banyak berasal dari pertambangan emas skala kecil (ASGM/Artisanal Small Scale Gold Mining), atau dikenal dengan istilah PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin). Kegiatan pertambangan ini menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dari batuan dengan menggunakan proses yang menghasilkan amalgam. Ada beberapa titik (hot spot) yang tersebar di Indonesia. Kegiatan ini dapat menyebabkan paparan merkuri yang terdapat di perairan, sedimen, biota bahkan manusia.
Melansir dari Nuril Hidayati, peneliti botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa kurang lebih 10.000 ton merkuri (Hg) per tahun mencemari lingkungan secara global. Sumbangan terbesar pencemaran merkuri (37%) berasal dari penambangan emas yang tersebar di sekitar 800 daerah di Indonesia. Sekitar 75% lahan pertanian di Indonesia sudah menjadi lahan kritis sehingga kesuburan tanahnya terus menurun. Air sisa penambangan yang mengandung merkuri dibiarkan mengalir ke sungai dan dijadikan irigasi untuk lahan pertanian dapat secara tidak langsung mencemari lahan pertanian. Selain itu, komponen merkuri juga banyak tersebar di karang, tanah, udara, air, dan organisme hidup melalui proses fisik, kimia, dan biologi yang kompleks.
Berdasarkan data dari UNDP, setiap tahun sektor penambangan emas skala kecil (PESK) di seluruh dunia melepaskan 195 ton merkuri ke lingkungan dimana 60% akan terlepas ke udara, 20% terlepas ke air dan 20% terlepas ke tanah. Pencemaran merkuri ini bersifat persisten/menetap karena merkuri tidak dapat terurai, dapat berpindah dari satu ekosistem ke ekosistem lain serta dapat terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup. Penghapusan penggunaan merkuri pada sektor PESK menjadi tantangan besar besar bagi pemerintah Indonesia, dimana sektor PESK menjadi sumber penghasilan bagi 300.000 -- 500.000 orang. Sementara itu, Indonesia pun telah menandatangani Konvensi Minamata tentang Merkuri pada bulan Oktober 2013 dan meratifikasinya pada tanggal 22 September 2017 melalui Undang -- Undang No. 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention of Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri).
Apa itu fitoremediasi?Â
Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam buatan atau reaktor maupun in-situ atau secara langsung di lapangan pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah Fitoremediasi diartikan juga sebagai penyerap polutan yang dimediasi oleh tumbuhan termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya.Â
Ada beberapa metode fitoremediasi yang sudah digunakan secara komersial maupun masih dalam taraf riset yaitu metode berlandaskan pada kemampuan mengakumulasi kontaminan (phytoextraction) atau pada kemampuan menyerap dan mentranspirasi air dari dalam tanah (creation of hydraulic barriers). Kemampuan akar menyerap kontaminan di dalam jaringan (phytotransformation) juga digunakan dalam strategi fitoremediasi. Fitoremediasi juga berlandaskan pada kemampuan tumbuhan dalam menstimulasi aktivitas biodegradasi oleh mikroba yang berasosiasi dengan akar (phytostimulation) dan imobilisasi kontaminan di dalam tanah oleh eksudat dari akar (phytostabilization) serta kemampuan tumbuhan dalam menyerap logam dari dalam tanah dalam jumlah besar dan secara ekonomis digunakan untuk meremediasi tanah yang bermasalah.Â
Kacang kalopo (Calopogonium mucunoides) merupakan salah satu jenis tanaman dari famili Fabaceae yang berpotensi sebagai fitoremediator. Sejumlah penelitian telah membuktikan adanya potensi agen remediasi logam berat merkuri (Hg) dari tanaman ini.
Penelitian yang dilakukan di Universitas Pattimura menunjukkan adanya reduksi kandungan merkuri yang mencemari tanah setelah dilakukan penanaman kacang kalopo selama 50 hari. Sebanyak 91,6338% kandungan merkuri yang ada dalam tanah mengalami penurunan dengan jumlah kandungan merkuri (Hg) dalam tanah tercemar dari  1,4200 mg/kg (kandungan Hg sebelum fitoremediasi) menjadi 0,1188 mg/kg (kandungan Hg setelah fitoremediasi) akibat adanya serapan oleh akar dan daun tanaman kacang kalopo. Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa tanaman kacang kalopo dapat menyerap logam Hg hingga sebesar 0,6800 ppm dengan melalui metode Atomic Absorption Spectrometry (AAS). Melalui metode yang sama, tanaman ini juga menunjukkan potensi lain dalam melakukan penyerapan senyawa toksik lainnya seperti logam Pb dan sianida.
Pemilihan tanaman kalopo sebagai agen fitoremediasi didasari pada beberapa karakteristik unggul yang mendukung perbanyakan tanaman ini sebagai solusi adanya pencemaran logam merkuri. Tanaman ini dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai tekstur tanah dan memiliki kemampuan bertahan terhadap kekeringan hingga suhu terpanas mencapai 36C. Disamping itu, tanaman ini tumbuh dengan cara membelit, sehingga dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi lingkungan serta mampu memperbaiki lahan yang terdegradasi.
Dengan berbagai penelitian yang membuktikan adanya potensi fitoremediasi kacang kalopo menjadi jawaban akan permasalahan pencemaran limbah merkuri yang terjadi akibat aktivitas pertambangan di Indonesia.
Ditulis oleh: Siti Ratu Rahayu Ningrum, Zarfani Gumanti, Prof. Topik Hidayat, M.Si., Ph.D.
Biologi Universitas Pendidikan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H