Ekonomi Tetap Stabil di Masa Pandemi, Potensi Gerabah Desa Rejosari Sangat Menjanjikan
Desa Rejosari merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Karangawaen kabupaten Demak. Memiliki luas wilayah kurang lebih 5,56 km2 menjadikan Desa Rejosari menjadi desa terluas ke tiga sekecamatan Karangawen setelah Desa Wonosekar dan Desa Jragung. Sebagaian besar warga desa Rejosari berprofesi sebagai petani, baik itu menggarap milik sendiri, menyewa lahan atau hanya menjadi buruh tani. Selain itu, juga banyak diantaranya sebagai pekerja pabrik, peternak dan pembuat kerajinan gerabah seperti batu bata, dan gerabah.
Seni kerajinan Gerabah merupakan merupakan bagian dari seni kriya. Gerabah adalah perkakas yang terbuat dari tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar kemudian dijadikan alat-alat yang berguna membantu kehidupan manusia. Gerabah memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia selain dijadikan sebagai alat memasak Gerabah juga sering digunakan untuk kebutuhan lainnya. Â Â
Kerajinan gerabah di Rejosari sendiri menjadi salah satu komoditi yang menunjang keberlangsungan hidup sebagian warganya, khususnya Dukuh Karang Pacing Wetan yang telah menjadi sentra kerajinan gerabah di desa Rejosari. Pengrajin gerabah telah ada dari dulu dan ditradisikan secara turun temurun oleh nenek moyang. Namun, telah banyak warga yang meninggalkan pekerjaan ini karena lebih memilih bekerja sebagai petani atau buruh pabrik.Â
Meskipun begitu, eksistensi gerabah Rejosari masih lestari dan menjadi sumber penghasilan bagi beberapa orang. Hingga kini masih ada sekitar tujuh orang yang bertahan hidup dari hasil membuat gerabah, kebanyakan dari mereka yang masih bertahan adalah ibu-ibu yang memang tidak bekerja. Meskipun penghasilan yang mereka dapatkan tidak terlalu besar, namun bisa membantu meringankan beban suami. Di Karang Pacing sendiri, jumlah pengrajin gerabah kini hanya tersisa tujuh orang, dengan umur kisaran 25 tahun hingga 55 tahun.
Proses pembuatan gerabah rejosari bisa dikatakan masih dilakukan dengan cara konvensional, yakni dengan mengolah tanah liat dicampur dengan pasir sebagai bahan dasarnya. Kemudian dibuat dengan cara manual menggunakan meja putar dengan bantuan alat dalim (untuk menghaluskan) tentunya hal ini menjadikan prosesnya menjadi panjang.Â
Proses pembakarannyapun juga masih dengan proses tradisional yakni belum menggunkan open, hanya menggunkana kayu bakar dan jerami kering sebagai alas bakar dan untuk menutup di atasnya, proses pembakarannya sendiri memerlukan waktu satu hingga dua jam. Sebenarnya sudah ada beberapa pelatihan guna mengenalkan metode lain dalam pembuatan gerabah ini. Salah satunya adalah menggunakan cetakan gypsum oleh pelatih dari pengrajin gerabah Mayong. Namun, oleh pengrajin gerabah rejosari merasa tidak cocok dengan metode tersebut, sebab dianggap terlalu rumit dan memerlukan waktu lama. Meskipun hasilnya langsung bisa dikeringkan untuk kemudian di bakar.
Selain cara dan metode pembuatannya yang masih konvensional, strategi penjualannyapun masih menggantungkan kepada para pengkulak yang datang. Padahal jika bisa memasarkan sendiri, pengahsilan yang didapat pengrajin bisa samapai tiga kali lipat daripada dijual kepada pengkulak.Â
Biasanya pengkulak membeli gerabah dalam partai besar, kira-kira kurang lebih tiga ratus buah gerabah untuk per minggunya dari satu pengrajin. Penulis melihat potensi besar tentang keberadaan kerajinan gerabah ini. Sehingga pada kesempatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang kebetulan dilaksanakan dari rumah. Penulis memelopori dan memberikan edukasi kepada pengrajin untuk memasarkan produk secara online.
Inisiatif untuk memasarkan gerabah secara online ini dilatarbelakangi kurangnya daya beli pengkulak di masa pandemic covid-19. Sehingga berdampak bagi pengrajin, sebab hasil produksi tidak diimbangi dengan banyaknya permintaan. Pada akhirnya banyak stok milik pengrajin yang belum laku terjual. Padahal, menurut penuturan salah seorang pengrajin, di awal masa pandemic ini pengrajin gerabah rejosari banjir order, mulai dari jenis cobek, pot bunga, tempat ari-ari dan lainnya. Permintaan per minggu setiap pengrajin hingga merambah kisaran 400-500 buah gerabah.
Dengan kemajuan teknologi mungkin belum mampu menggeser metode pembuatan gerabah rejosari yang masih konvensional. Namun bukan berarti tidak mampu memanfaatkan teknologi internet sebagai media untuk berdagang. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan industry tersebut. Penyuluhan perlahan dilakukan guna memberi wawasan tentang menjual produk secara online.Â