Matahari bersinar terik ketika aku berkunjung ke Sanggar Lumbung Kawruh di Ngurak-Urak, Petir, Rongkop, Gunungkidul. Sebelumnya aku telah membuat janji dengan Mas Ribut, yang tak lain adalah perintis dari sanggar ini. Perjalanan terasa cukup menyenangkan ketika pemandangan kota Jogja perlahan berubah menjadi dataran Bumi Gunungkidul. Apalagi setelah sampai di Rongkop. Pemandangan alamnya membawaku seperti melewati bukit-bukit teletubies. Sepintas aku berpikir, tak harus naik gunung untuk menikmati pemandangan bukit teletubies, cukup datanglah ke Rongkop dan nikmati pemandangan alamnya.
Setelah sampai di sanggar, aku tertegun. Bukan karena kemewahan, tapi kesederhanaannya seakan sudah memberitahu romantisme segala aktivitas di sanggar ini. Meskipun tidak sepenuhnya permanen, bangunannya sudah menunjukkan kesan estetik, menurutku. Setelah masuk, lagi-lagi aku tertegun. Rak-rak buku berjajar rapi, lukisan-lukisan besar, papan-papan yang sudah terukir untuk desain sablon cukil, papan tulis, ruang baca, serta ruang jagongan yang dialasi karpet hijau. Kondisi seperti itu seakan juga telah memberitahu bagaimana kehangatan Sanggar Lumbung Kawruh.
"Beginilah kondisi sanggar kami mbak. Tempat untuk 'sinau sareng-sareng'. Ya sederhana, tapi kami nyaman di sini", ujar Mas Ribut setelah mempersilahkan aku duduk.
Mas Ribut, dengan nama panggung Ribut Eugh, dan nama lengkap Ribut Subronto. Beliau adalah seniman asal Ngurak-Urak, Petir, Rongkop. Beliau juga seorang vokalis band genre reggae yang terkenal di Gunungkidul, yaitu Mbako Ijo. Laki-laki berumur 40an tahun dengan rambut gimbal panjang terlihat mengerikan dari luar, jika boleh aku bilang mirip limbat, tapi ternyata beliau berhati lembut dan memiliki spirit luar biasa. Nama Mas Ribut menjadi semakin kondang karena keberhasilannya membangun Sanggar Lumbung Kawruh.
Menurutku, Mas Ribut adalah sosok keren yang harus dikenalkan ke masyarakat luas. Karena cerita dan perjuangan beliau sungguh luar biasa, serta dapat memotivasi kita semua untuk lebih peka terhadap pembangunan di lingkungan tempat tinggal.
Gerakan beliau dimulai saat dulu touring bersama kawan-kawan komunitas vespa tepatnya saat sampai di daerah Baleraja, Tangerang. Mereka memiliki basecamp di sebuah gedung bekas perpustakaan. Suatu hari, di pagi yang cerah mereka mendengar suara anak perempuan berseragam sekolah menangis sendirian. Kemudian mereka menghampiri anak itu, lalu bertanya. Anak itu bercerita, bahwa dia telah berjalan jauh untuk sampai ke lokasi tersebut untuk membaca buku, tanpa ia ketahui bahwa perpusatakaan sudah pindah. Kemudian, Mas Ribut dan kawan-kawan mengantarkan anak itu sampai ke perpustakaan yang baru. Momen itulah yang membuat Mas Ribut dan kawan-kawan merasa trenyuh.
"Kejadian itu meluluhkan hati saya, seorang anak dengan spiritnya rela berkorban demi membaca buku di perpustakaan. Kemudian, saya bilang ke kawan-kawan, 'kita ini sudah lama touring kemana-mana, tapi kita belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat buat orang lain'. Dari situ kemudian saya bersama kawan-kawan berusaha membuat suatu rumah baca di daerah sana. Prosesnya sangat panjang dan tidak mudah. Hingga akhirnya kami berhasil membuat Taman Baca Masyarakat Baleraja di kolong fly-over", cerita Mas Ribut terkait motivasi awalnya untuk membangun rumah baca.
Singkat cerita, pada tahun 2014 Mas Ribut memulai gerakannya di Ngurak-Urak, kampung halamannya. Awalnya juga berangkat dari perkataan seorang teman ketika Mas Ribut pulang kampung dari Tangerang.
"But kamu itu ngapain? Di tempat orang lain kamu seperti itu, 'ngapik-apikke', berbuat baik. Sedangkan di kampung, rumah kamu sendiri malah kamu biarkan", ujar Mas Ribut sembari memperagakan kawannya yang berkata demikian kepada beliau.
"Jujur saya itu lebih suka bergerak atau melakukan sesuatu di luar daripada di lingkungan rumah sendiri. Karena saya merasa bahwa saya lebih dihargai di dunia luar daripada di rumah sendiri. Tetapi, semenjak ada kawan saya berkata demikian, sontak hal itu membuat saya sadar. Dan ternyata anggapan saya selama ini bahwa saya kurang dihargai di lingkungan rumah ternyata hanya sugesti karena saya takut jika tidak dihargai di tempat sendiri", tutur Mas Ribut yang membuatku kagum akan kesadaran beliau untuk memulai gerakannya di Ngurak-Urak.
Awal mula berdirinya Sanggar Lumbung Kawruh dengan memanfaatkan lumbung dusun yang mangkrak di belakang balai dusun. Tempat itu dipinjami oleh padukuhan. Mas RIbut dengan senang hati menerima bantuan itu, meskipun minimalis tetapi bisa digunakan. Antusias kawan-kawan desa dan anak-anak berhasil mengubah lumbung mangkrak menjadi sebuah taman baca.
Kegiatan di taman baca ini tidak sekedar belajar dengan membaca buku. Karena banyak kegiatan-kegiatan lain yang tentunya bertujuan untuk meningkatkan hardskill maupun softskill anak-anak.
"Saya berpikir kira-kira apa yang membuat anak-anak tidak bosan. Awalnya tujuan kami adalah untuk mengumpulkan anak-anak agar gemar membaca. Lalu kami tersadar bahwa mereka sudah berhadapan dengan buku kurang lebih 8 jam lamanya di sekolah. Pasti mereka bosan jika harus kembali dengan buku. Maka dari itu, kami membuat sesuatu yang menarik dan tidak membosankan. Seperti pertunjukkan teater, sablon cukil, dan kesenian yang lain", jelas Mas Ribut.
Seperti dengan namanya, Sanggar Lumbung Kawruh, merupakan tempat untuk belajar bersama dan tidak mengenal ada batasan usia. Kawan-kawan sanggar mendefinisikan tempat ini sebagai tempat untuk 'sinau sareng-sareng'. Anak-anak bisa belajar membuat karya seni, para pemuda bisa berkarya sembari belajar mengembangkan ekonomi kreatif sablon cukil, dan masyarakat umum juga bisa belajar perihal pertanian, peternakan, dan lain sebagainya. Mas Ribut selalu mencarikan mentor yang cocok untuk mendukung kegiatan sanggar.
Setelah mengobrol lama dengan Mas Ribut, akupun kagum untuk yang kesekian kalinya karena ternyata keberhasilan Sanggar Lumbung Kawruh didasari oleh landasan atau pondasi yang disebut sebagai "Tular Srawung". Landasan ini bermakna Tujuh Pilar, yaitu seni, rasa, akhlak, wawasan, unggah-ungguh, serta guyup rukup atau gotong royong.
Sanggar Lumbung Kawruh mengajak anak-anak untuk berkarya sehingga bisa menghasilkan karya-karya seni baik itu seni rupa, seni musik, maupun seni pertunjukan. Kemudian, kegiatan yang menarik banyak perhatian dari semua kalangan, tanpa disadari dapat menumbuhkan rasa kekeluargaan yang kuat. Maka tak heran jika nilai gotong royong juga masih terjaga kuat. Dengan demikian, semua orang yang terlibat belajar bersama (gudang wawasan), tidak melupakan akhlak baik juga sopan-santun atau unggah-ungguh.
Gagasan Mas Ribut untuk membangun sanggar ini diterima dengan sangat baik oleh masyarakat desa. Karena semua warga juga turut menjunjung tinggi spirit 'Tular Srawung' sebagai pondasi utama untuk 'sinau sareng-sareng'. Sungguh luar biasa perjuangan Mas Ribut membangun Sanggar Lumbung Kawruh dari awal hingga sekarang menjadi salah satu contoh pemberdayaan yang sukses di Gunungkidul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H