Mohon tunggu...
Siti Nurhasmiah
Siti Nurhasmiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Siti Nurhasmiah

Siti Nurhasmiah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Citra Viralnya Perempuan "Cantik" di Media Massa

24 Mei 2022   09:46 Diperbarui: 24 Mei 2022   10:09 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan teknologi kian hari memperlihatkan keterlibatannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dalam dunia media, teknologi telah menciptakan ruang komunikasi berbasis massal dengan kecepatan tinggi (Tamrin, 2022). 

Media komunikasi saat ini, bukan hanya untuk sebatas berkomunikasi dengan orang lain dalam dunia maya, akan tetapi media komunikasi juga mampu menyerap hal-hal viral yang terjadi di masyarakat.

Sesungguhnya apa yang viral di media massa, kebanyakan isinya adalah viralnya seorang perempuan. Padahal media tidak hanya mengeksploitasi perempuan di jejaring sosial melalui bentuk tubuh, namun juga melalui narasi yang dikonstruksikan kepada khalayak, seperti pemberitaan tentang perempuan cantik yang viral di jagat maya. 

Pemberitaan tentang perempuan cantik yang viral seolah menjadi produk berita yang memiliki nilai berita yang tinggi di masyarakat dan kata "cantik" ini seolah-olah memberikan perbedaan antara perempuan-perempuan lainnya.

Dalam media komunikasi dan media massa, tak jarang kita temukan berita atau informasi yang tersebar mengenai viralnya seorang perempuan cantik. 

Misalnya saja berita yang dikutip dari Dream.co.id yang narasi judul beritanya "Viral Badut Pengamen Berparas Cantik, Banjir Doa dari Warganet", berita lainnya yang dikutip dari Suara.com yang berjudul "Viral Video Ukhti Cantik Penjual Kelapa, Warganet Ngaku Adem Lihat Penampilannya", dan judul berita yang dikutip dari iNews Portal yang berjudul "Gadis Cantik Sopir Truk Batu Bara yang bantu Ekonomi Keluarga Ternyata Bermimpi Jadi Pramugari".

Dengan narasi judul yang ditampakkan oleh media tersebut, seolah-olah menggiring opini publik bahwa hanya perempuan yang disebut cantik sajalah yang mendapatkan perhatian dan atensi dari publik. Makna perempuan cantik itulah yang kemudian menjadi bahan eksploitasi media terhadap perempuan.

Kebebasan media dalam menempatkan perempuan sebagai objek hingga saat ini bukan hal baru terjadi di media massa. Media massa seringkali menempatkan perempuan sebagai salah satu komoditas yang dapat dieksploitasi. Akan tetapi, kaum perempuan yang menjadi bahan eksploitasi di media massa bahkan tidak menyadari bahwa daya tarik visualnya digunakan untuk kepentingan pemilik modal dan menempatkan posisinya sebagai marginal.

Sangat penting untuk menganalisa dengan kritis mengenai pergeseran makna yang terjadi dalam pemberitaan dengan narasi "cantik" yang viral di jejaring sosial. Tentunya untuk menganalisis permasalahan yang menjadi bias gender ini diperlukan studi kritis dari berbagai paradigma sosiologis agar kita dapat melihat permasalahan ini dari berbagai sudut pandang.

Dalam teori sosiologis feminis yang berawal dari sosiologi pengetahuan karena feminis berusaha menjabarkan, menganalisis, dan mengubah dunia dari sudut pandang perempuan, dan karena bekerja dari posisi subordinat di dalam relasi sosial, mereka melihat produksi pengetahuan adalah bagian dari sistem kekuasaan yang mengatur semua produksi di dalam masyarakat. 

Teori sosial feminis mencoba mengubah perimbangan kekuasaan dalam diskursus sosiologi dan di dalam teori sosial dengan menciptakan suatu sudut pandang perempuan sebagai salah satu paradigma bagi konstruksi pengetahuan sosial (Ritzer & Goodman, 2009).

Dalam teori konflik Feminisme Marxis menganggap bahwa penindasan perempuan oleh kaum laki-laki adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Fakih, 1996: 86). 

Adapun Engels dalam Setiadi & Kolip (2011: 898) masalah ini dalam sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan karena perubahan organisasi kebudayaan. Oleh karena sejak awal, laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti belaka. Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai.

Adapun dalam aliran konflik feminisme sosialis sebagaimana Mitchel dalam Setiadi & Kolip (2011: 899) telah meletakkan dasar-dasar feminisme sosialis. Menurutnya, politik penindasan sebagai suatu konsekuensi baik penindaan kelas maupun patriarkis. Bagi feminsime sosialis, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahwa revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan.

Asumsi yang digunakan oleh feminis sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan perempuan. Oleh karenanya, analisis patriark perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan demikian, kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan.

Perspektif lainnya dari segi paradigma teori agenda-setting dalam sosiologi komunikasi, dalam hal ini asumsi dasar teori agenda-setting adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peritiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. 

Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka penting juga bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila media massa memberi perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memengaruhi pendapat umum (Burhan, 2006).

Berdasarkan beberapa perspektif sosiologis terkait citra viralnya perempuan dengan narasi "cantik" di media massa, maka dalam hal ini sebenarnya netizen atau pengguna media sosial sangat berperan sehingga membuat viral perempuan-perempuan yang ia tonton.

 Semakin banyak pengguna yang menyukai dan membagikan tayangan itu maka semakin viral pula perempuan tersebut di jagat maya. Bukan hanya itu, opini yang dibentuk oleh media rupanya sangat mengandung sisi yang bias gender.

Pemberitaan tentang perempuan cantuk viral di media massa mendapat atensi dari publik, publik dianggap masih memiliki selera yang sama ketika berbicara tentang seksualitas perempuan. 

Hal ini tentu dapat memberi gambaran bagaimana ideologi publik terkait perempuan di media massa. Kita juga bisa melihat berbagai opini yang diutarakan publik di kolom komentar dan antusiasme masyarakat terhadap narasi "cantik" perempuan.

Fenomena media sosial saat ini menunjukkan bahwa partisipan terkhususnya perempuan viral dengan diksi "cantik" merasa memiliki kebebasan dalam berpartisipasi di ruang publik, serta bisa menjalin hubungan pertemanan dan terkenal di jejaring sosial, dan bebas melakukan aktivitas sirkulasi konten media. 

Akan tetapi di balik itu semua, yang terjadi sebenarnya adalah perempuan dieksploitasi oleh para konglomerat yang menggunakan media sosial untuk tujuannya ekonomi. Aktivitas perempuan yang dimaknai "cantik" ini dalam jejaring sosial seperti menggunakan video, audio atau artikel tidak ubahnya seperti pekerja, buruh yang tidak dibayar. 

Sebaliknya pemilik media jejaring sosial mendapat keuntungan dari iklan dan atensi yang masuk. Ironisnya para pengguna tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari kepentingan ekonomi elit media. Selain itu, di dunia maya terjadi pengawasan model panoptic: partisipan selalu diawasi oleh media walaupun tidak merasa diawasi (Karman, 2014).

Media massa saat ini memiliki peranan yang sangat penting untuk membentuk opini publik dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai sosial pada sebagian masyarakat Indonesia. 

Pada posisi ini, media massa seharusnya berperan untuk mentransformasikan nilai-nilai moral untuk membentuk masyarakat beradab, memberdayakan, bukan memperdayakan masyarakat. Namun, untuk saat ini kapitalisme pasar yang berkembang menjadikan media justru sebagai alat pelunturan identitas nilai moral (Syafrini, 2014).

Pemberitaan yang banyak mengeksploitasi tubuh perempuan korban kriminal dan hukum di media online dinilai menyesatkan sehingga harus dihentikan. Lantas bagaimana upaya solutif yang mampu meminimalisir bahkan menghapuskan eksploitasi media untuk kepentingan medianya sendiri tersebut terhadap perempuan viral cantik ini?

Upaya yang bisa dilakukan yaitu; pertama, perlu ada kesadaran dari pemilik dan pekerja media untuk membuat berita yang berperspektif gender sehingga tidak menampilkan berita yang membuat perempuan menjadi korban berkali-kali terkhusus pada judul yang mengandung narasi yang bias gender seperti judul dengan diksi "cantik". 

Kedua, perlu adanya pemahaman dari media dan dimatangkan lewat pelatiham berperspektif gender dengan mengadopsi etika jurnalistik yang berlaku. Ketiga, memperbaiki sensitifitas wartawan redaksi dan pemilik media. Perlu ada pemantau dari dewan pers atau Lembaga organisasi wartawan. 

Keempat, kesadaran dari masyarakat untuk bisa mengendalikan media masyarakat tidak boleh pasif tapi harus mampu mengontrol media dengan cara menjadi audiens yang cerdas yang dapat memilah dan memilih berita yang layak komsumsi dan turut aktif dalam pemberantasan kegiatan pembodohan oleh media melalui tulisan, dialog, demonstrasi dan lain-lain (Anas, 2013) .

Sebagai penutup, dikutip dari buku Sopian Tamrin (2022) yang berjudul "Aforisma Keseharian: Refleksi Kritis Problem Sosial Keseharian yang menyatakan teknologi memang diciptakan untuk mempermudah segala aktivitas, hanya saja terkadang masih berfungsi ganda. Olehnya itu, sebaik-baiknya pengguna layar adalah ia yang memanfaatkan untuk kebenaran. Menampilkan kejujuran dan menghindari pembodohan publik.

Sumber referensi:

Anas, S. H. (2013). Eksploitasi Perempuan di Media Massa. Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender Dan Anak, 8(2), 32--46.

Burhan, B. (2006). Sosiologi komunikasi: Teori, paradigma, dan diskursus teknologi komunikasi di masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Fakih, M. (1996). Analisis gender & transformasi sosial. Pustaka Pelajar.

Karman, K. (2014). Media Sosial: Antara kebebasan dan eksploitasi. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 18(1), 75--88.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2009). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 523.

Setiadi, E. M., & Kolip, U. (2011). Pengantar sosiologi: pemahaman fakta dan gejala permasalahaan sosial: teori, applikasi dan pemecahannya. Kencana.

Syafrini, D. (2014). Perempuan dalam Jeratan Eksploitasi Media Massa. Humanus, 13(1), 20--27.

 Tamrin, Sopian. 2022. Aforisma Keseharian: Refleksi Kritis Problem Sosial Keseharian. Yogyakarta. Cantrik Pustaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun