Akan tetapi di balik itu semua, yang terjadi sebenarnya adalah perempuan dieksploitasi oleh para konglomerat yang menggunakan media sosial untuk tujuannya ekonomi. Aktivitas perempuan yang dimaknai "cantik" ini dalam jejaring sosial seperti menggunakan video, audio atau artikel tidak ubahnya seperti pekerja, buruh yang tidak dibayar.Â
Sebaliknya pemilik media jejaring sosial mendapat keuntungan dari iklan dan atensi yang masuk. Ironisnya para pengguna tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari kepentingan ekonomi elit media. Selain itu, di dunia maya terjadi pengawasan model panoptic: partisipan selalu diawasi oleh media walaupun tidak merasa diawasi (Karman, 2014).
Media massa saat ini memiliki peranan yang sangat penting untuk membentuk opini publik dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai sosial pada sebagian masyarakat Indonesia.Â
Pada posisi ini, media massa seharusnya berperan untuk mentransformasikan nilai-nilai moral untuk membentuk masyarakat beradab, memberdayakan, bukan memperdayakan masyarakat. Namun, untuk saat ini kapitalisme pasar yang berkembang menjadikan media justru sebagai alat pelunturan identitas nilai moral (Syafrini, 2014).
Pemberitaan yang banyak mengeksploitasi tubuh perempuan korban kriminal dan hukum di media online dinilai menyesatkan sehingga harus dihentikan. Lantas bagaimana upaya solutif yang mampu meminimalisir bahkan menghapuskan eksploitasi media untuk kepentingan medianya sendiri tersebut terhadap perempuan viral cantik ini?
Upaya yang bisa dilakukan yaitu; pertama, perlu ada kesadaran dari pemilik dan pekerja media untuk membuat berita yang berperspektif gender sehingga tidak menampilkan berita yang membuat perempuan menjadi korban berkali-kali terkhusus pada judul yang mengandung narasi yang bias gender seperti judul dengan diksi "cantik".Â
Kedua, perlu adanya pemahaman dari media dan dimatangkan lewat pelatiham berperspektif gender dengan mengadopsi etika jurnalistik yang berlaku. Ketiga, memperbaiki sensitifitas wartawan redaksi dan pemilik media. Perlu ada pemantau dari dewan pers atau Lembaga organisasi wartawan.Â
Keempat, kesadaran dari masyarakat untuk bisa mengendalikan media masyarakat tidak boleh pasif tapi harus mampu mengontrol media dengan cara menjadi audiens yang cerdas yang dapat memilah dan memilih berita yang layak komsumsi dan turut aktif dalam pemberantasan kegiatan pembodohan oleh media melalui tulisan, dialog, demonstrasi dan lain-lain (Anas, 2013) .
Sebagai penutup, dikutip dari buku Sopian Tamrin (2022) yang berjudul "Aforisma Keseharian: Refleksi Kritis Problem Sosial Keseharian yang menyatakan teknologi memang diciptakan untuk mempermudah segala aktivitas, hanya saja terkadang masih berfungsi ganda. Olehnya itu, sebaik-baiknya pengguna layar adalah ia yang memanfaatkan untuk kebenaran. Menampilkan kejujuran dan menghindari pembodohan publik.
Sumber referensi:
Anas, S. H. (2013). Eksploitasi Perempuan di Media Massa. Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender Dan Anak, 8(2), 32--46.