Pendahuluan
Essai ini bertujuan untuk memahami fenomena ketidaksetaraan gender di dunia kerja melalui studi literatur. Ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja adalah masalah sosial yang kompleks dan berakar pada struktur sosial, norma budaya, serta hubungan kekuasaan yang ada di dalamnya. Berdasarkan kajian pustaka, ketidaksetaraan gender terlihat dari perbedaan dalam kesempatan kerja, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan, serta terbatasnya perempuan untuk naik jabatan. Pendekatan kualitatif dipilih untuk menggali lebih dalam pemahaman tentang fenomena ini, dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasarinya serta bagaimana dampaknya terhadap perempuan di dunia kerja.
Konsep gender lahir akibat dari proses sosiologi dan budaya yang berkaitan dengan pembagian peranan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah lingkungan masyarakat. Sebagian besar masyarakat menganggap peran sosial perempuan jauh tertinggal dan bersifat pasif dibandingkan dengan laki-laki dan hal ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi akibat adanya konstruksi budaya (Qori, 2017:151-162). Beberapa kajian menunjukkan bahwa perempuan sering kali menghadapi diskriminasi yang bersifat struktural dan kultural. Menurut Acker (2006: 441-464), ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja bersifat sistemik, yang tercermin dalam pengaturan pekerjaan, peluang promosi, dan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, Connell (2005) dalam kajian teorinya mengenai gender menyatakan bahwa ada pembagian peran sosial yang tidak adil di tempat kerja, yang memperkuat dominasi laki-laki dalam posisi-posisi penting.
Beberapa teori sosial juga memberikan pemahaman tentang ketidaksetaraan gender ini. Teori struktural fungsional menganggap bahwa ketidaksetaraan gender di dunia ckerja muncul sebagai bagian dari struktur sosial yang lebih luas, di mana setiap individu memiliki peran yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin mereka. Selainitu, faktor budaya dan norma yang masih berlaku di sebagian besar masyarakat yaitu peran tradisi lebih penting dari peran transisinya sehingga perempuan memiliki kecenderungan untuk tetap di rumah dan merasa bertanggung jawab untuk mengurus keluarga di rumah, sehingga menolak untuk memasuki pasar kerja. Perempuan bisa memiliki dua peran yaitu peran tradisi sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga juga bisa memiliki peran transisi yaitu sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan partisipan pembangunan (Dwi, 2017: 207–222). Di sebagian wilayah Indonesia masih berlaku norma di mana penghargaan masyarakat terhadap perempuan yang mengurus anak dan suami di rumah lebih tinggi dibandingkan penghargaan yang diberikan terhadap perempuan yang memiliki karier di luar rumah (Azmi et al., 2012: 298–306). Faktor lain yang tidak kalah penting pengaruhnya adalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan perempuan Indonesia untuk dapat memasuki pasar kerja serta masih banyak terjadi pernikahan dini (Scholastica, 2018).
Sementara itu, teori konflik, seperti yang diajukan oleh Marx (1967), menyoroti adanya dominasi kelompok tertentu, dalam hal ini laki-laki, atas kelompok yang lebih lemah, yakni perempuan. Teori interaksi simbolik juga memberikan perspektif bahwa ketidaksetaraan gender dibentuk melalui simbol dan interaksi sehari-hari yang memperkuat stereotip dan peran gender tradisional. Terakhir, teori feminisme menekankan bahwa ketidaksetaraan gender adalah hasil dari struktur patriarkal yang mendominasi kehidupan sosial dan budaya. Budaya dan norma yang berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pekerja perempuan lebih banyak dipekerjakan di sektor domestik dibandingkan di sektor publik, meskipun setiap perempuan Indonesia memiliki hak untuk memilih menjalani peran di sektor domestik maupun di sektor publik (KPPPA, 2018)
Pembahasan
Ketidaksetaraan gender di dunia kerja tidak hanya terjadi karena perbedaan individu, tetapi juga karena struktur sosial dan budaya yang lebih besar. Dalam kerangka teori struktural fungsional, ketidaksetaraan gender dapat dipahami sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih luas, di mana pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai bagian dari pemenuhan fungsi tertentu dalam masyarakat. Misalnya, peran perempuan sebagai ibu atau pengurus rumah tangga sering kali dipandang sebagai penghalang bagi karir mereka di dunia kerja, sehingga mereka dianggap tidak bisa memenuhi peran manajerial.
Di sisi lain, teori konflik mengungkapkan bahwa ketidaksetaraan ini juga berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Laki-laki sebagai kelompok dominan cenderung mempertahankan posisi mereka dengan memanfaatkan struktur yang ada di tempat kerja untuk mempertahankan kekuasaan mereka, baik itu dalam bentuk kebijakan yang membatasi akses perempuan pada kesempatan promosi atau dalam cara mereka memperlakukan perempuan di lingkungan kerja.
Teori interaksi simbolik juga memberikan wawasan mengenai bagaimana norma dan peran sosial yang ada dalam masyarakat berperan dalam mempertahankan ketidaksetaraan ini. Penggunaan bahasa dan simbol-simbol tertentu dalam komunikasi sehari-hari di tempat kerja sering kali memperkuat stereotip gender yang mengarah pada diskriminasi. Misalnya, ungkapan “pekerjaan pria” atau “pekerjaan perempuan” yang kerap digunakan untuk membatasi ruang lingkup pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh masing-masing jenis kelamin.
Teori feminisme Acker, J. (1990: 139-158). yang menekankan pentingnya perjuangan untuk kesetaraan gender, menyoroti bahwa ketidaksetaraan gender bukan hanya masalah individu, tetapi juga merupakan masalah struktural yang harus diatasi melalui perubahan kebijakan dan budaya organisasi. Feminisme mengajarkan bahwa perempuan harus diberi ruang untuk berpartisipasi secara setara di dunia kerja, tanpa terbebani oleh stereotip dan pembatasan yang tidak adil.
A. Bentuk Bentuk Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja.
- Perbedaan Upah: Salah satu temuan utama adalah adanya perbedaan upah yang signifikan antara laki-laki dan perempuan meskipun mereka memiliki jabatan yang setara.
- Kesempatan Promosi: Perempuan juga lebih jarang mendapatkan kesempatan promosi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan perempuan untuk mengisi posisi manajerial atau pengambilan keputusan
- Stereotip Gender: Stereotip tentang peran gender yang sudah melekat, ada anggapan bahwa perempuan lebih cocok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan administrasi atau pekerjaan yang lebih “soft” sementara laki-laki dianggap lebih kompeten untuk pekerjaan yang lebih strategis dan manajerial.
- Kesempatan Karir: Perempuan lebih jarang mendapatkan kesempatan untuk promosi atau posisi manajerial dibandingkan laki-laki, meskipun memiliki kualifikasi yang sama.
- Diskriminasi dan Pelecehan: Beberapa perempuan juga mengalami diskriminasi langsung, seperti pelecehan seksual di tempat kerja, atau mendapat penilaian yang tidak adil hanya karena jenis kelamin mereka
B. Faktor Penyebab Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja
- Norma Sosial: Masyarakat seringkali memiliki pandangan laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara perempuan diharapkan mengurus pekerjaan rumah tangga.
- Kebijakan Perusahaan: Beberapa perusahaan mungkin tidak memiliki kebijakan yang mendukung kesetaraan gender atau tidak menerapkan kebijakan tersebut secara efektif.
- Persepsi tentang Kepemimpinan: Masyarakat dan organisasi sering menganggap bahwa kepemimpinan lebih cocok untuk laki-laki karena dianggap lebih rasional atau tegas.
c. Relevansi Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
- Aspek Sosial dan Budaya: IPS mengkaji bagaimana norma sosial yang bersifat patriarkal memengaruhi posisi dan peran perempuan serta laki-laki di dalam dunia kerja.
- Struktur Sosial: IPS mempelajari struktur sosial yang ada di masyarakat, termasuk dalam dunia kerja, yang sering kali menciptakan hierarki berdasarkan jenis kelamin. Hal ini membentuk dinamika kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan ketidaksetaraan.
- Isu Ekonomi: Ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja memiliki dampak langsung terhadap perekonomian, seperti kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan. IPS mengkaji dampak ekonomi dari ketidaksetaraan ini serta upaya untuk mencapainya kesetaraan dalam perekonomian.
- Kebijakan Sosial: Dalam IPS, ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja dipelajari untuk merumuskan kebijakan sosial yang lebih adil, seperti kebijakan cuti melahirkan, pengupahan yang adil, dan representasi perempuan dalam jabatan strategis.
- Perubahan Sosial: IPS juga mengkaji bagaimana perubahan sosial dapat terjadi untuk mengatasi ketidaksetaraan ini, seperti gerakan feminisme, kebijakan afirmatif, atau pendidikan yang mendukung kesetaraan gender.
D. Konsep Dasar IPS yang Terkait dengan Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja
- StrukturSosial
Dalam konteks dunia kerja, struktur sosial ini mencakup norma-norma sosial yang ada. Sering kali, masyarakat menempatkan pria dalam peran-peran tertentu, sementara wanita diharapkan melakukan pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan domestic duties atau pekerjaan dengan tingkat pengakuan yang lebih rendah. - NormaSosial
Dalam dunia kerja, norma sosial yang berlaku sering kali memperkuat stereotip gender, seperti menganggap bahwa pria lebih cocok untuk pekerjaan dengan jabatan tinggi atau lebih sulit, sementara wanita dianggap lebih cocok untuk pekerjaan administratif atau pekerjaan dengan tanggung jawab domestik. - PeranSosial
Dalam dunia kerja, peran sosial sering kali dibagi berdasarkan gender, yang berkontribusi pada ketidaksetaraan akses terhadap peluang, promosi, dan penghargaan. - KelasSosial
Ketidaksetaraan gender sering kali berinteraksi dengan kelas sosial, di mana perempuan dari kelas sosial rendah cenderung lebih terpinggirkan dan menghadapi lebih banyak hambatan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak.
E. Solusi untuk Mengatasi Ketidaksetaraan Gender di Dunia Kerja
Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah, organisasi internasional, maupun sektor swasta untuk mengatasi ketidaksetaraan gender di dunia kerja. Beberapa kajian menunjukkan bahwa program-program seperti pelatihan keterampilan untuk perempuan, pengembangan kewirausahaan perempuan, dan pembentukan kebijakan kesetaraan gender di tempat kerja telah menunjukkan hasil positif.
Selain itu, peraturan cuti melahirkan yang lebih baik, akses yang lebih mudah ke fasilitas kesehatan bagi perempuan, serta promosi kesetaraan gender dalam kebijakan perusahaan yang turut berkontribusi dalam mengurangi ketidaksetaraan. Namun, studi juga menunjukkan upaya-upaya tersebut bergantung pada kesadaran dan komitmen yang lebih besar dari pihak pemerintah dan sektor swasta dalam implementasi kebijakan. Tanpa adanya pengawasan yang ketat dan penerapan yang konsisten, ketidaksetaraan gender di dunia kerja akan tetap menjadi masalah yang sulit diatasi.
Simpulan
ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja merupakan masalah sosial yang kompleks dan berdampak luas, terutama di Indonesia. Ketidaksetaraan ini terlihat dalam berbagai bentuk, seperti perbedaan upah, kesempatan promosi, stereotip gender, diskriminasi, dan merendahkan di tempat kerja. Penyebabnya meliputi norma sosial patriarkal, kebijakan perusahaan yang kurang mendukung kesetaraan gender, serta persepsi kepemimpinan yang bias gender.
Penelitian ini menunjukkan bahwa isu ini relevan dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), karena mencakup aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Untuk mengatasi ketidaksetaraan gender, solusi yang disarankan antara lain adalah penegakan hukum yang lebih tegas, peningkatan pengawasan, kesadaran akan hak pekerja perempuan, serta penerapan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan setara bagi semua individu.
Daftar pustaka
Acker, J. (1990). Hierarchies, Jobs, Bodies: A Theory of Gendered Organizations. Gender & Society, 4(2), 139-158.
Acker, J. (2006). Inequality Regimes: Gender, Class, and Race in Organizations. Gender & Society, 20(4), 441-464.
Azmi, I. A. G., Ismail, S. H. S., & Basir, S. A. (2012). Women Career Advancement in Public Service: A Study in Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 58, c6. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.100
Connell, R. W. (2005). Masculinities (2nd ed.). University of California Press.
Marx, K. (1967). Capital: A Critique of Political Economy, Volume I. Progress Publishers.
Qori, K. (2017). Peran Ganda Perempuan pada Keluarga Masyarakat Petani: Kasus Istri Petani di kecamatan Merapi Selatan Kabupaten Lahat. Jurnal Kajian Gender Dan Anak, 12(2), 151– 162. Sali, S. (201)
Risman, B. J. (2004). Gender as a Social Structure: Theory Wrestling with Activism. Gender & Society, 18(4), 429-450.
Scholastica, G. (2018). Rerata Penghasilan Perempuan Masih Jauh di Bawah Gaji Laki-Laki. Tirto.Id.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI