“Jangan. Kamu bisa mati, Nduk!1”
Semua ancaman itu seolah jadi mimpi buruk bagi seluruh warga desa. Bahkan untuk Marto dan anak perempuannya, Asri. Mereka enggan keluar rumah meski untuk membuang ludah ke balik jendela. Beruntunglah mereka yang punya kakus di dalam rumahnya, tidak terpisah seperti milik keluarga Marto. Tidak akan susah-susah, jika tubuh mereka menuntut untuk segera buang hajat.
Seperti Asri.
Gadis berusia sembilan tahun itu menangisi keadaannya. Di saat seperti ini mengapa harus sakit perut. Isakan yang hanya terdengar pelan kini melahirkan sebuah tangis rintihan. Sambil memegangi perutnya, ia takut jika sebentar lagi rumah akan bau jika bapaknya tak memperbolehkan keluar untuk buang air. Rasa sakit itu sungguh menyiksa tubuh kecilnya. Tubuh Asri bergetar hebat akibat terlalu lama menahan mulas. Seluruh bulu kuduknya meremang memberikan reaksi spontan ketika sesuatu siap keluar dari bagian tubuhnya. Hebusan angin malam membuatnya tak lagi mampu untuk bertahan.
“Pak—“
“Ojo!2 Bapak tinggal punya kamu. Tahan!”
“Tapi, Pak. Aku ndak tahan lagi!”
Asri melihat potret ibunya di satu-satunya pigura yang mengantung miring di dinding anyaman bambu rumah mereka. Sulastri meninggal tiga bulan yang lalu. Marto ada di sisinya ketika helaan napas terakhir Lastri, panggilan sayang Marto, terdengar. Ia mengingat betul jika kematian itu memang ada.
Ancaman itu memang ada.
Apa yang dikatakan seluruh warga desa tentang pagebluk3bukan hanya cerita dongeng sebelum tidur. Istrinya tidak pernah mengeluh sakit seperti pagi itu.
Dada Lastri sakit setelah meminum air yang baru ia timba dari sumur dekat sawah meski sebelumnya ia bercerita air sumur itu sangat segar. Tidak berlangsung lama sejak cairan tawar itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Memberikan kesegaran di awal, namun menyiksa di akhir. “Bapak ngangsu4 dari sumur tadi siang, air di luar belum Bapak ganti.”
“Tapi itu cuma air, Pak. Aku ndak mau minum, cuma buat—“
“Sama saja! Di luar bahaya, Nduk!”
Marto menarik lengan Asri memberikan tatapan ancaman. Butuh sedikit cara keras untuk mendidik anak perempuan satu-satunya yang wajib dilindungi oleh seorang ayah tunggal. Lastri meninggalkan Asri untuknya. Untuk ia jaga. Dan untuk perkara ini, Marto tahu itu hanya masalah air. Air yang diambil dari sumur tak jauh dari rumahnya.
Anak beranak itu saling melempar pandangan. Menyalurkan kekhawatiran akan sebuah ancaman kematian yang bisa datang malam ini juga. Seperti halnya Lastri, tidak hanya untuk Asri, bahkan Marto pun bisa jadi korban selanjutnya.
Asri menunduk tak berniat untuk melawan. Di hadapannya kini adalah bapaknya. Satu-satunya orang tua yang ia miliki. “Cukup hanya ibu yang pergi. Bapak butuh kamu,” kata Marto lagi-lagi berharap putrinya paham. Asri diam. Kemudian masuk ke kamarnya setelah sesuatu yang basah mengotori kain yang dipakainya. Ia masih butuh air besok, untuk mencuci.
***
Dipercayai oleh banyak penduduk desa, pagebluk tidak memandang siapa yang menjadi korban. Jika dalam satu musim warga telah mengatakan pagebluk datang, isyarat untuk waspada dan tak berjauhan satu sama lain dalam satu keluarga menuntut untuk segera ditaati.
Beberapa hari lalu, ada lima orang meninggal malam hari setelah panen raya usai. Menurut cerita warga, mereka minum air sumur di dekat sawah setelah pesta tayuban5usai. Sore itu, kelima pemuda melintasi depan sumur mengambil air untuk minum. Tidak jelas apa keluhan yang dirasakan. Berselang lima jam setelah mereka minum dan pulang ke rumah masing-masing, satu persatu pemuda itu mati di ranjang, teras depan rumah, bahkan ada yang terkapar di pematang sawah setelah mencari kodok untuk dijual.
Sementara dulu, Lastri, ibu muda dari desa itu hanyalah satu dari banyak warga desa yang meminum air sumur di dekat sawah milik juragan Purwadi ketika pagebluk datang. Sumber air yang terus tersedia di sana serta satu-satunya sumur yang dekat dengan pemukiman bisa dijadikan alasan untuk para warga desa memilih mengambil air di sana demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Lastri telah pergi, Marto paham itu dan kini ia tak ingin semua itu terjadi pada putri satu-satunya.
“Ini bukan perkara air, Mar. Pagebluk itu ndak jelas. Bisa saja cuma keluar rumah nanti malam juga meninggal. Jadi, jangan salahkan air dari sumur itu.”
“Kamu belain juraganmu? Takut dipecat? Jadi benar, yo, juragan Purwadi mau ambil ongkos buat air dari sumur itu?”
“Kamu itu emosi. Lastri sudah meninggal, ndak bakal balik.” Tris mengalihkan pembicaraan.
Marto menoleh tak percaya. Tris, sahabatnya sejak mereka masih SD berani mengatakan seperti itu tentang mendiang istrinya. Takdir mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Tris. Memang, Marto juga tahu. Kematian tidak bisa ditolak oleh siapapun. Dengan cara apapun juga. Hanya saja, Marto masih belum rela untuk sadar jika cinta pertamanya kini benar-benar telah pergi.
“Buat apa dipikirkan, sumur itu baik-baik saja. Kalau nanti kita mati, itu sudah takdir.” Kata Tris menyerahkan sebotol air mineral bersegel yang ia bawa dari kota. Marto ingat Asri, anaknya baru sedikit minum pagi ini. Mereka tak mengambil banyak air ketika bersama di sungai desa sebelah beberapa jam lalu. Biarlah enam ratus mili air pemberian Tris disimpan Asri untuk diminum nanti.
Tris tersenyum heran, karibnya itu terlalu takut hanya karena air sumur. “Rungokno6 aku, bisa saja aku pulang dari sini terus mati di kasur. Tanpa minum air dari sumur itu. Mar—“
“Aku paham. Aku ngerti. Tapi pagebluk iki bisa jadi datang dari air itu. Penyakit, Tris. Istriku, anak-anak muda beberapa hari lalu. Mati setelah minum air dari sumur itu.”
Bersihkeras, Marto tetap percaya jika air itu adalah sumber dari segala masalah. “Kalau kamu lebih percaya bukan dari air itu, kenapa kamu masih ke rumahku? Kamu bisa mati—“
“Yo, mati saja. Kalau itu sudah takdirku. Kamu jadi orang pertama yang paling lama aku ajak bicara. Wes, aku mau pulang, aku masih capek dari tempat kerja. Kota itu rame. Coba kamu keluar desa. Jangan jadi katak dalam tempurung. Glundang-glundung di desa ini terus,” kata Tris berpamitan pulang.
Daripada terus berdebat, Marto membiarkan sahabatnya pulang setelah oleh-oleh berupa air mineral ia terima. Sangat bermanfaat.
Berselang beberapa jam kemudian, takdir yang Marto dan Tris bicarakan menemui realita.
Sungguh malang nasib Marto, baru saja ia akan tidur, pintu rumahnya terdengar seperti diketuk. Temponya cepat mengindikasikan panggilan itu penting. Cepat-cepat Marto bangkit dari ranjangnya dan melihat siapa gerangan yang datang di tengah malam. Asri masih nyaman di balik selimut
“Tris—Tris, di rumah—“ terbata-bata Hakim menjelaskan sebuah kabar terbaru.
Marto panik, “ada apa dengan Tris?”
“Tris.. meninggal.”
***
Dalam satu bulan saja, ada lebih dari sepuluh warga meninggal tidak wajar saling bergantian setiap minggunya. Isu air sumur yang sempat menggemparkan warga desa sebagai sumber kematian, kini tidak menjadi tersangka utama kematian banyak warga di desa. Perhatian warga mudah sekali teralihkan ketika beberapa dari mereka meninggal bukan karena air sumur itu. Jadi, dengan cepat warga bisa melupakan petaka air sumur begitu saja. Pagebluk masih di statuskan waspada serta masih mendominasi rasa takut yang timbul pada masing-masing pribadi.
Begitulah yang masih dirasakan oleh Asri.
Pagi ini, ia mengeluh kehausan. Stok air di rumah hanya tinggal untuk memasak saja. Asri menunjukkan isi gentongnya pada sang Bapak yang baru kembali dari ladang. “Buat masak nasi. Buat minum sudah ndak ada, Pak. Kita beli di sumur juragan Purwadi—“
“Ndak perlu, kita ke sungai sekarang. Sudah hampir siang.”
Marto meletakkan topi capingnya di satu buah paku menonjol pada tiang bambu rumahnya. Mengambil ember dan dirigen plastik tempatnya biasa menampung air-air dari sungai desa tetangga. Asri menahan Marto tepat saat siap mengeluarkan sepeda, “itu jauh, Pak. Bapak pasti juga capek baru kerja. Aku masih punya uang. Kita beli air di juragan—“
“Jangan, Bapak bilang ndak usah. Kita ke sungai cari air, ayo!”
“Tapi, aku capek, Pak. Aku baru mau buat nasi tadi, tapi aku bingung. Airnya tinggal sedikit. Nanti kita minum apa?” Kata Asri begitu memelas.
Marto menghela napas berat. Ia merasa kasihan pada putri sematawayangnya. Hari-hari selalu dilanda kehausan dan kelaparan. “Airnya cukup untuk apa?”
Anak sembilan tahun itu melihat lagi sisa air yang ada di dalam gentong penampung air miliknya. “Masak nasi dan minum segelas—eh, ndak sampai segelas. Bapak mau minum?”
Si bapak menggeleng pelan meski tenggorokannya kering kerontang. Liurnya tak mempan menghilangkan dahaga meski pasokan saliva yang ia hasilkan lebih dari cukup untuk membasahi mulutnya. “Minum kamu saja, tinggal sedikit, toh?”
Asri memejamkan matanya memberikan jawaban. Bapaknya sangat pengertian jika sudah mengenai urusan kebutuhan asupan tubuh. Marto sudah biasa menahan haus tapi jangan untuk Asri. “Bapak pergi sendiri?”
“Ya, kamu di rumah saja, Bapak yang ambil air.”
“Hati-hati, Pak.”
Marto mengendarai sepeda anginnya menuju perbatasan desa. Meninggalkan Asri dirumah dengan air yang tersisa beberapa mili. Ia harus membagi untuk memasak nasi dan minumnya siang ini.
Hampir satu jam, Marto pergi mencari air dan Asri selesai menanak nasinya. Asap dari tungku api dapurnya memberi sensasi panas di tubuhnya. Hari ini ia sudah tak mandi karena persediaan air menipis untuk memasak dan minum. Ia memperhatikan batas gelas yang tidak penuh dengan air.
Tiga perempat gelas terisi air. Air untuk minum.
Hanya tiga tegukan saja, Asri menandaskan airnya. Gelas kaca berlogo salah satu merek sabun colek tertelungkup di atas mulut yang ternganga. Asri menunggu satu tetes terakhir air minumnya jatuh dengan sabar. Tes! Air terakhir jatuh tepat di tengah indra pengecapnya. Asri kecewa.
“Ndak mempan. Aku masih haus.”
Suara ribut di depan rumahnya membuat Asri tertarik ingin tahu. Dua orang ibu-ibu berjalan bersamaan sambil membawa ember besar menuju jalan ke arah sumur. Ya, sumur.
“Mau kemana?” tanya Asri pada salah satu ibu yang ia kenal sebagai bibi teman bermainnya.
“Beli air, Nduk. Hawane panas!7” jawab si ibu singkat.
Benar juga, Asri merasakan sendiri. Itulah mengapa air yang ia minum sama sekali tidak terasa segar karena hangat. Ia melihat ke arah ujung jalan desa. Tanda-tanda kedatangan bapaknya tak kunjung tiba. Ini sudah hampir dua jam sejak Marto pergi berpamitan untuk mengambil air.
Asri sudah tak tahan lagi. Ia haus. Ada uang lima ratus perak di kantung pakaiannya. Cukup untuk membeli satu botol sedang air sumur. Tiba-tiba, Asri teringat dengan Bapaknya. Ia pasti akan dilarang jika meminum air itu. “Tapi—maafkan aku, Pak. Orang-orang juga minum tapi ndak apa-apa,” batinnya.
Menunggu antrean hampir lima belas menit, Asri akhirnya mendapatkan air. Ia sangat bahagia melihat air yang jernih mengisi penuh botol bekas air mineral pemberian terakhir mendiang pakde Trisnya. Tanpa menunggu pulang ke rumah, Asri menghabiskan airnya sendirian di bawah pohon asam.
“Pulang, Nduk. Sisakan, jangan diminum semua.”
Suara perempuan menyadarkan Asri. Sungguh sebuah kenikmatan ketika rasa haus terganti dengan rasa segar dari sumber mata air asli. Benar juga, ia harus menyisakan air untuk ia minum bersama Bapaknya. “Tapi, Bapak lagi ambil air. Sudah pulang belum, ya?”
Asri menenteng botol airnya menuju rumah. Ia berharap bapaknya telah kembali dan menujukkan bahwa air sumur itu tak terjadi apa-apa padanya. “Bahkan rasanya segar.”
Tapi sungguh disayangkan, sesampainya di rumah, Asri memang melihat bapaknya telah kembali. Bahkan diantar oleh banyak orang yang sama sekali tidak ia kenal. Marto ditidurkan di atas tikar anyaman bambu. Badannya masih hangat dengan wajah pucat dan bibir kering pecah-pecah. Hanya saja, tidak ada nyawa yang lagi bersemayam di tubuh itu. begitu juga dirigen dan ember yang kosong tanpa air.
“Bapak belum minum, ya? Aku bawa air, Pak. Masih ada sedikit. Bapak mau?” dengan lugunya Asri menyodorkan sisa airnya untuk sang bapak.
“Bapakmu sudah ndak haus, Sri.” Kata tetanganya yang terisak-isak.
Asri diam mengamati tubuh bapaknya yang kaku.
“Airnya segar, loh, Pak. Aku sudah minum hampir satu botol, tinggal sedikit. Nanti kalau Bapak sudah bangun, minum ini, ya.”
Asri tetap menyisakan air sumurnya sepertiga botol. Berharap untuk diberikan Marto ketika bangun nanti. Asri merasakan kesegaran di tenggorokannya begitu nikmat. Bahkan hingga malam menjelang, rasa segar itu masih nyaman ditenggorokannya. Ia sudah tak sabar berbagi air sumur itu untuk bapaknya.
Hingga Asri perlahan terlelap di antara para tetangga yang datang membawa bakul besi berisi sembako dan bahan makanan, tanpa sadar ia berbaring nyaman di sisi tubuh pucat Marto. Menggenggam erat botol berisi sisa air sumur yang tidak mungkin bisa ia minum kembali.[]
Catatan kaki
1 panggilan untuk anak perempuan
2 jangan
3 kepercayaan masyarakat Jawa pada sebuah wabah penyakit yang melanda desa atau kawasan secara misterius. Biasanya memakan banyak korban dengan kurun waktu yang hampir bersamaan.
4 menimba
5pertunjukan seni tari dan nyanyian Jawa khas yang biasa di adakan ketika hajatan diselenggarakan untuk mempererat hubungan sosial antar masyarakat.
6dengarkan
7udaranya panas!
A/N:
Hanya tulisan (cukup) lama yang saya buat untuk sebuah even. Semoga menghibur dan selamat menjalankan ibadah puasa :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H