“Bapak sakit. Mbak harus pulang sekarang juga. Bapak hanya butuh Mbak.”
Begitulah isi pesan Arman untuk kakak perempuannya. Tangan Aisyah bergetar. Seolah sengatan listrik satu gardu menyerang setiap ujung jemarinya hingga menjalar ke ulu hati. Sakitnya luar biasa. Penyakit lamanya kambuh lagi. Ini kali kesekian Aisyah menerima pesan singkat dari desa tempat kelahirannya.
Siapa lagi, kalau bukan dari Arman.
Arman, satu-satunya orang di desa Sendangrejo yang punya ponsel. Itupun yang paling murah. Aisyah membelikannya atas perintah sang suami.
“Belikan saja yang harga tiga ratusan. Ponsel ‘Cina’ sudah terlihat keren bagi orang desa.” Bayu, suami Aisyah yang dikenal ketika melamar pekerjaan di sebuah kantor garmen Jakarta Selatan. Ia pewaris tahta tunggal dan satu-satunya pemilik sah tujuh cabang perusahan sejenis dan satu pabrik pengolahan kelapa sawit ditambah mini galeri seni di pusat kebudayaan kota.
Cinta tidak pernah mengenal kasta. Setiap hati tahu kepada siapa ia harus memilih. Coba lihat saja Bayu. Ia sama sekali tak pernah meminta keluarganya membuat hajat dengan orang desa. Apalagi pernikahan.
Tapi apa daya, Bayu sudah kadung jatuh cinta, dengan Aisyah. Gadis sederhana yang nama desa tempat tinggalnya saja tidak pernah ia ketahui. Kumpulan peta manapun tidak pernah memasukkan nama Sendangrejo di dalamnya. Tidak penting juga.
Miris bikin menangis.
Orang tua Bayu bahkan harus membuat acara diam-diam ketika melamarkan Aisyah untuk Bayu. Saat resepsi saja, butuh mengeluarkan banda khusus super fantastis untuk menyewa para ‘aktor dan aktris’ demi menggantikan sosok keluarga Aisyah ketika di pelaminan. Alasannya, pernikahan itu sakral. Apalagi untuk keluarga Parahardi. Jangan sampai IQ ‘jongkok’ orang-orang desa itu ikut-ikutan mengatur perhelatan akbar putra tunggal keluarga mereka. Keluarga Bayu tak mau ambil risiko. Papi dan Mami Bayu sangatlah paham, Bapak dan keluarga besar Aisyah pastilah tak tahu apa itu katering, dekorasi, pemotretan pre-wedding sampai para WO yang bertanggung jawab atas semuanya.
Hingga di tahun ke tiga pernikahannya, Aisyah tak pernah lagi pulang ke desa. Sibuk? Tidak, ia tak bekerja. Tidak ada kendaraan? Suaminya bahkan punya garasi khusus ‘mirip’ showroom mobil berdiri megah di selatan rumahnya. Muat menampung segala jenis mobil dari setir posisi kanan sampai kiri. Lantas, mengapa Aisyah harus tetap diam di rumah suaminya?
“Kau harus paham, Syah, siapa aku ini. Siapa keluargaku dan tentu saja kau. Apa kamu lupa dengan acara pernikahan kita? Keluargaku bahkan harus rela membayar puluhan juta mahasiswa seni peran demi menutupi jati diri Bapakmu yang KERE itu!”