Mohon tunggu...
Siti Nuraeni Maulana
Siti Nuraeni Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Jika kebahagiaan adalah harapan, maka menulislah kebaikan! Menulis bagian dari mengukir peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna Pembelajaran Hidup, Bahagia seperti Apa?

2 Oktober 2023   05:00 Diperbarui: 2 Oktober 2023   07:25 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Pembelajaran bermakna pengambilan hikmah dalam menjalani keberprosesan hidup, ada pepatah klasik mengatakan bahwa pengalaman adalah guru kehidupan. Dari pengalaman kita banyak belajar, sebagai pijakan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Pengalaman juga menjadi ajang dalam mempersiapkan bekal hidup yang akan datang agar berprogress bukan unprogress. Hal ini, tidak terlepas dari kehidupan manusia yang mana sudah disuguhi oleh goals hidupnya masing-masing, terutama kaitannya dengan pandangan dalam menyikapi kehidupan. Hidup adalah perlombaan, mengapa demikian?

Karena hidup adalah ajang untuk saling meningkatkan kualitas diri dengan menjadi sebaik-baik manusia, dalam artian menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Hakikatnya manusia hidup di dunia adalah sebagai fasilitas memupuk bekal agar bahagia di akhirat yang kekal. Makna kebahagiaan itu luas, setiap orang mampu mendefinisikan sendiri makna bahagia menurut versinya. Boleh jadi, bahagianya ada yang ketika memiliki rumah dan segala harta kekayaan, punya pasangan, ada yang statusnya single terus diseriusin sama laki-laki tulus bukan modus, punya jabatan atau bisa dapet gelar yang panjang. Banyak makna bahagia yang dapat didefinisikan, tetapi sebenarnya bahagia itu seperti apa?

Apabila kita menelisik makna bahagia, dalam pandangan Islam bahwa bahagia itu bukan diukur dari duniawi melainkan bagaimana kita memposisikan diri sebagai Hamba yang lebih dalam mengenal Rabb-Nya, jika seseorang semakin mengenal Rabb-Nya, maka semakin dalam pula rasa cinta pada Rabb-Nya. Mengutip dari perkataan Buya Hamka bahwa bahagia itu ketika kita mengenal Allah (Ma’rifatullah) melalui modal kesempurnaan akan akal pikiran. Inilah yang disebut sebagai kebahagiaan yang hakiki, ketika seseorang mampu mencintai Rabb-Nya melebihi cinta terhadap makhluk-Nya. 

  

Cinta pada harta,

harta akan pergi. 

Cinta pada manusia, 

manusia akan mati

Cinta pada Allah yang akan kekal abadi

Fakta ilmiah, dalam studi tertua di dunia seorang ilmuwan melakukan riset tentang makna happiness bahwa yang selama ini menjadi tolak ukur kebahagiaan ialah sejahtera kehidupan dunianya, perasaan bahagia yang tercipta dari kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan. Bahkan seorang Psikolog yang bernama Seligman, pernah menyebutkan bahwa makna bahagia itu dengan kembali pada 3 misi psikologi yang semula, yakni mengobati penyakit mental, mengupayakan orang untuk hidup produktif, dan mengidentifikasi atau merawat bakat. Tentu, selama ini manusia berpikir bahagia itu ketika dirinya sejahtera atau mampu dalam standar kehidupan dunia. Akan tetapi, bahagia itu adalah ketika hati kita merasa cukup, karena harta belum menjadi jaminan kebahagiaan seseorang, misalnya banyak menemukan orang mampu, namun belum merasa dapat kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah hakikatnya kebahagiaan, sifatnya non fisik sedangkan materi sifatnya fisik. Kebahagiaan itu fitrah manusia yang tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan. Islam mengajarkan sikap awareness to self, terutama bagaimana respon kita terhadap kondisi atau keadaan, menjadikan kita sebagai hamba yang semakin dekat dengan Rabb-Nya atau sebaliknya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun