Aku adalah sunyi yang melingkar di tepian waktu,
menganyam gelap dari serpihan malam yang rapuh.
Tapi kau datang, seperti desir angin yang membelai pagi,
mengajakku mengenal hangat di tengah beku.
Kau adalah gema yang tak bersuara,
membawa setitik cahaya,
yang kupikir tak pernah bisa terjangkau.
Dalam senyummu, aku percaya,
dalam bisikmu, aku tenggelam.
Namun seperti pasir yang mengalir dari sela jari,
kau meninggalkan jejak yang tak dapat kugenggam.
Wajahmu menjadi bayang-bayang yang retak,
dibingkai oleh cerita yang tak ingin kudengar.
Aku adalah purnama yang mendapati langitnya gelap,
kehilangan sinar tanpa tahu kemana ia pergi.
Mereka berkata, kau pelukis mimpi-mimpi palsu,
perangkai ilusi yang menjaring hati.
Namun aku memilih buta,
memahat kepercayaan pada bayang dirimu,
meski hatiku tahu, kau adalah labirin tanpa pintu.
Dan ketika angin membawa rahasia,
kutemukan namaku di antara banyak nama,
kisahku di antara banyak kisah.
Aku adalah daun yang jatuh,
kau adalah musim yang berganti tanpa peringatan.
Kini aku beranjak dalam diam,
membawa kepingan hati yang pernah kau sentuh.
Aku adalah bara yang tak pernah padam,
mencari makna dari luka yang ditinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H