Mohon tunggu...
siti maryamah
siti maryamah Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu rumah tangga yang tengah menggapai mimpi jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Perempuan dan Kedaulatan Pangan

22 Maret 2013   14:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:23 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melonjaknya harga bawang  harus  menyadarkan kita akan rentannya ketergantungan pada impor bahan pangan , dan urgensi menegakkan kedaulatan pangan. Sebagai pihak yang terkena imbas paling parah dari kenaikan harga ini, perempuan mesti mengambil bagian dalam kerja besar menegakkan kedaulatan pangan itu.

Krisis bawang menunjukkan bahwa Pemerintah gagal mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan, sesuai amanat UU Pangan No.18/2012. Pasal 46 UU No 18/2012 ini menegaskan bahwa Pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan sampai tingkat perseorangan. Melambungnya harga bawang, disusul terbitnya puluhan ijin impor baru adalah potret bahwa pada akhirnya pemerintah tak berdaya melawan tekanan kartelis komoditi ini.

Krisis ini mestinya menyadarkan para ibu tumah tangga bahwa ketersediaan bawang di dapur tidaklah sesederhana tampaknya. Kenyamanan berupa murahnya bawang impor, harus dibayar mahal dengan hilangnya produksi bawang dalam negeri dan kerentanan harga ketika stok dimainkan spekulan. Dengan kebutuhan 400 ribu ton pertahun dan produksi nasional hanya 14.200 ton atau 3,55% dari kebutuhan itu, maka 96,5% kebutuhan bawang nasional disuplai dari impor. Ketergantungan apalagi soal pangan, selalu rentan goncangan. Oleh karena itu, menegakkan kedaulatan pangan adalah urgensi yang tak bisa ditawar. Kedaulatan pangan ini, hemat penulis, bisa dirintis perempuan  dalam tiga level, yaitu  ideologis, politik, dan kultural.

LEVEL IDEOLOGIS

Perempuan perlu memahami bahwa membanjirnya bawang impor murah adalah hasil bekerjanya neoliberalisme yang melalui jargon pasar bebas menekan negara untuk menghilangkan segala hambatan pasar bagi semua produk termasuk produk pertanian dari negara manapun. Jargon globalisasi membius dunia ketiga untuk percaya bahwa persaingan di pasar bebas terjadi pada "ruang hampa" yang memungkinkan siapapun menjadi pemenangnya. Padahal yang terjadi dalam globalisasi sektor pertanian sebenarnya adalah surplus produksi yang berlebihan dari negara maju setelah proteksi dan subsidi besar-besaran terhadap sektor pertanian mereka, membuat mereka harus mencari pasar baru. Artinya tidak ada "ruang hampa", yang ada adalah tempat sarat kepentingan.

Lalu, diserbulah pasar dunia ketiga dengan produk pertanian negara maju, yang karena subsidi besar-besaran itu membuatnya menjadi murah. Masuklah Indonesia dalam "food trap". Kita terlanjur mencintai pangan murah yang tidak diproduksi di dalam negeri, seperti terigu. Akibatnya terjebaklah kita dalam ketergantungan 100% terhadap impor, dan nyaris tanpa daya tawar, kita membeli berapapun harganya.

Pertanian modern negara maju, menghadapi pertanian tradisional negara berkembang seperti Indonesia, adalah ibarat senapan otomatis melawan ketapel.  Mengintegrasikan diri dalam pasar bebas produk pertanian, tanpa persiapan memadai sama saja bunuh diri. Tapi, dengan dikte WTO dan IMF, Indonesia digiring untuk percaya bahwa kita punya peluang menang dengan masuk pasar bebas. Dalam resolusi PBB No 176 tahun 1996 tentang Konsep Keamanan Pangan (Food Security), poin kedua menyatakan bahwa FAO percaya kekuatan pasar bebas bisa membantu mengatasi kekuarangan pangan di beberapa wilayah negara dan dunia ini. Mungkin benar,  dengan menjerumuskannya dalam utang tak terbayar, dan akhirnya kedaulatan tergadai.

Dalam globalisasi pangan, negara dunia ketiga digiring pada produksi monokultur yang berorientasi industri dan ekspor. Interkoneksitas antar negara  menjadi lebih kuat, sekaligus lebih rentan. Tak ada jaminan bahwa takkan ada pihak yang menggunting dalam lipatan. Pertanian monokultur menggerus potensi sumber daya lokal dan meningkatkan ketergantungan pada pihak luar.

Gerakan sederhana yang bisa dilakukan kaum perempuan adalah dengan menanamkan pola pikir antitesis  terhadap rezim pasar bebas, dengan menghargai kemandirian pangan yang berakar pada biodiversitas lokal. Kita harus sadar, bahwa jika dunia mengalami kerawanan pangan, maka emas pun bisa tak berharga. Sang pemenang adalah produsen pangan. Emas tak bisa dimakan. Apatah lagi jika sudah tak ada emas, tak ada pula pangan.

LEVEL POLITIK

Melawan rezim pasar bebas memerlukan kepemimpinan politik yang kuat, cerdas, kohesif dan visioner. Sebagai pasar yang sangat besar, Indonesia menggiurkan bagi produsen manapun. Segala cara bisa dilakukan agar tak muncul kemandirian. Inisiatif lokal sebisa mungkin dimatikan karena mengancam pasar. Tanpa kepemimpinan politik yang kuat, kohesif dan visioner, tidak mungkin melawan kekuatan " the invisible hand" yang menggurita dan bisa meminjam mulut sekaligus membungkam mulut siapa saja untuk memenangkan kepentingannya. Sebagai populasi yang dominan, perempuan mesti punya visi soal kemandirian pangan, dan tidak terlena pada kenyamanan semu pangan murah yang penuh jebakan.

Menurut survey BPS tahun 2001-2006, proporsi perempuan petani adalah 55,2%, dan sisanya adalah laki-laki. Artinya perempuan adalah produsen pangan yang dominan. Adanya affirmatif action kuota 30% bagi perempuan dalam legislatif bisa menjadi pintu untuk memperjuangkan kebijakan pangan yang lebih mendorong terwujudnya kemandirian dan kedaulatan pangan yang ramah perempuan.

LEVEL KULTURAL

Berpikir global tanpa tindakan lokal yang konkrit, hanya akan menjadi wacana kosong. Sebagai penguasa dapur, perempuan bisa melakukan gerakan sederhana dengan merintis kemandirian bahan pangan untuk konsumsi keluarga. Memilih produk pangan dalam negeri, terutama yang organik, dan mengatur pola makan keluarga  agar berakar pada biodiversitas pangan lokal. Pendeknya karbohidrat tak harus nasi, roti tak mesti terigu, dan bumbu tak harus bawang.

###

Artikel ini saya buat beberapa waktu lalu, untuk sebuah rubrik, yang ternyata telah ditiadakan. Kini krisis bawang hampir berakhir. Mungkin nanti, saat kita sudah lupa, krisis ini terulang lagi untuk komoditi berbeda. Kedelai, minyak goreng, dan sebagainya. Saat krisis, rakyat mencaci maki, aparat sibuk berapologi, pengambil keputusan akan "memadamkan kebakaran". Seperti biasa. Jika saat itu persediaan "air" habis, atau mesin pemadam tidak bisa berfungsi, "kebakaran" itu tak mustahil menghancurkan negeri ( Aissh, dukun mana pula ini?!)

Salam !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun