Mohon tunggu...
Siti KumalaTumanggor
Siti KumalaTumanggor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berharap pada manusia sama dengan patah hati secara sengaja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gagal Usai

1 Februari 2022   20:22 Diperbarui: 1 Februari 2022   20:27 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu istirahat, gih! Biar pulih bener," kata ibu sesampainya mereka di rumah.

Ara mengangguk. Di kamar Ara langsung membongkar lemari, mengambil sebuah album foto. Tempat kenangan kisah cintanya. Dia tersenyum kecut, membuka lembaran demi lembaran. Di setiap gambar, semua tersenyum. Saling merangkul mesra. Namun, itu sudah menjadi kenangan.

"Aku harus memusnahkan ini," gumam Ara. Dia menepuk-nepuk dagu dengan telunjuk, memikirkan cara apa yang akan dilakukan. Dia tersenyum, kemudian beranjak keluar. Langkahnya terayun menuju dapur, mencari korek api. Setelah menemukan apa yang dicari, lanjut ke belakang di mana sampah-sampah biasa dibakar.

"Selamat ting---" Gerakan bakar-bakar terhenti saat ponsel tiba-tiba berdering di kantong celana jeansnya. Terpaksa dia meletakkan korek dan album foto untuk bisa mengambil benda pipih itu. Ara terbelalak saat melihat siapa yang menelepon. Dia menepuk-nepuk pipi beberapa kali, seolah menyadarkan diri sendiri kalau dia sedang tidak bermimpi. Itu Wisnu, ya dia.

"Ha-halo." Dengan suara gemetar, Ara menempelkan ponselnya di telinga kiri. Lama tak ada sahutan hingga membuat Ara merasa dipermainkan. Dengan kesal dia hendak memutuskan panggilan.

"Apa kabar?" Satu pertanyaan sukses membuat tubuhnya menegang. Jantung berdebar hebat, loncat kegirangan.

"Ba-baik," sahut Ara dengan gugup. Dia kembali menempelkan benda pipih itu ke telinga kiri.

"Syukurlah. Oh iya, aku sudah ada di Indonesia sekarang. Mau bertemu?"
"Ha!?" Spontan Ara menutup mulut, syok. Ini mimpi? Ara menggeleng, tidak bisa. Pria itu sudah memutuskan hubungan, lalu sekarang bertingkah seolah tak pernah terjadi apa-apa. Dia tidak bisa bertingkah sesuka dia, dong. Pikiran Ara berontak, tetapi hatinya bersorak gembira.

"Maaf, aku sibuk!" Itulah kata yang terlontar dari bibir Ara sebelum dia menekan tombol merah. Dia tidak mau terjebak lagi, sudah cukup. Tatapannya beralih ke album foto mereka, dilema.

"Aku harus gimana?" Dia mengepalkan tangan ke udara. Jika dia menemui pria itu pasti hanya akan menambah luka. Bagaimana jika Wisnu datang hanya untuk memperkenalkan calon isterinya? Tidak! Tidak bisa terjadi. Ara mengentakkan kaki, kemudian masuk ke rumah. Meninggalkan album foto yang terletak begitu saja di dekat sampah.

Saat berjalan menuju kamar, Ara tersentak. Ibu berdiri sembari berkacak pinggang. Ara menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal, kemudian terkekeh kecil. "Ibu ... aku tadi buang sampah. Nyemak di kamar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun