"Betul, Bu. Tempat ini sudah terkenal di sosial media. Tapi, sekarang kok sepi ya, Bu?"
Ibu itu mengamati jalanan di depan warungnya yang lengang. Beberapa kendaraan tampak melintas sesekali. Sebetulnya aku malah senang suasana sepi begini. Jauh lebih tenang buat healing dari hiruk-pikuk Ibukota.
"Yang lewat sih banyak, Nak. Namanya juga libur akhir tahun. Mungkin orang-orang pergi ke tempat lain," ujar ibu penjaga warung setelah termenung beberapa saat.
Empatiku tersentuh karena pernyataannya. Kondisi sepi begini pasti berpengaruh buat pemasukan warungnya. Apalagi, ibu ini sepertinya tidak punya usaha atau kesibukan selain menjaga warung. Mataku berkeliling mengitari sudut-sudut yang mungkin ditemukan harapan.
"Nak, sudah pernah main ke curug?" tanyanya memecah lamunanku.
"Cu-curug? Oh, belum Bu. Saya memang gak berniat main ke tempat wisata. Sekedar jalan-jalan saja daripada suntuk di rumah," jawabku sambil tersenyum menutupi kegugupan.
"Oh gitu. Ya sudah diminum kopinya, Nak. Maaf ya, Ibu jadi banyak nanya," ujarnya sambil bangkit dari duduknya.
"Nggak apa-apa, Bu. Ibu namanya siapa? Saya Dimas."
"Lasinem, Nak. Panggil Lasi saja."
Ibu penjaga warung seketika sibuk dengan piring dan lauk-pauk untuk dihidangkan. Aku menelan ludah. Hawa dingin yang menjalar membuat rasa lapar tak tertahankan. Ditambah, kabut yang mulai menghalangi jarak pandang menjadikan indera penciuman lebih sensitif terhadap aroma makanan.
"Nak, Ibu tinggal sebentar ya. Mau nganter makan siang untuk Bapak," pamitnya terburu-buru tanpa menunggu respons dariku meski hanya anggukan.