Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengintip Kerja Digital di Ruang Konvensional

26 Juni 2024   10:30 Diperbarui: 27 Juni 2024   09:29 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret kerja digital (sumber: dok. pribadi)

Kerja digital dan co-working space seolah dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Gelombang pekerjaan yang bisa diselesaikan di mana saja mulai merebak sejak pandemi Covid-19 melanda. 

Pembatasan mobilitas guna mencegah kerumunan membuat pekerjaan tertentu semakin fleksibel dilakukan di mana pun dan kapan pun. 

Tiga tahun berselang, masyarakat mulai beraktivitas seperti biasa. Memenuhi gedung perkantoran. Hilir-mudik di jalanan. Keluar-masuk coffee shop sambil menenteng setumpuk tugas tambahan. 

Ada yang berbeda dengan cara kerja masyarakat digital produk pandemi. Kini, mobilitas tetap ramai seperti semula. Namun, keramaian yang tercipta di tempat ngopi, yang mulanya dipenuhi candaan sepulang kerja--beralih fungsi sebagai rapat di luar kantor. 

Dua hingga lima laptop berbaris di atas satu meja panjang dengan tumpukan kertas, alat tulis, dan ponsel yang diletakkan secara acak. 

Sebagian besar pengunjung coffee shop larut dalam layar monitor dengan gerakan tangan aktif mengetik atau menggeser pointer mouse. 

Pemandangan yang lazim pada suatu sore di Ibukota. Anak muda yang biasanya bercengkrama soal lelahnya hidup di seperempat baya, kini khusyuk dengan gawai di tangan. 

Segelas kopi yang diminum bergantian seolah tidak menjadi penghalang bagi mereka mendapat akses WiFi gratis dengan fasilitas yang nyaman. Kehidupan pasca pandemi menuntut upaya perubahan yang besar--yang dapat diamati dari revolusi cara kerja digital. 

Potret kerja digital (sumber: dok. pribadi)
Potret kerja digital (sumber: dok. pribadi)

Sebagai penikmat mode "kerja di mana saja", saya pernah bertanya pada rekan yang saya temui di suatu cafe. Kira-kira begini isi percakapannya. 

Apakah bekerja di tempat umum seperti ini nyaman?

"Tentu saja tidak. Semua orang juga datang ke sini hanya untuk WiFi atau bertemu kawan lama. Soal nyaman-tidaknya bukan soal selama co-working space belum menjadi urgensi suatu daerah."

Kapan biasanya kamu datang (ke sini) untuk bekerja?

"Setiap sore, sepulang kerja. Sejujurnya, daripada ruang kerja di kantor, tempat ini cukup nyaman karena ventilasi dan pencahayaannya bagus sehingga membuat saya fokus bekerja."

Apakah kamu tidak merasa terganggu dengan keramaian di sini?

"Saya memaklumi tempat ini cukup ramai dan bising karena memang public places yang terletak di pinggir jalan raya. Jadi saya tidak terganggu sebab itu hal yang wajar."

Berapa lama biasanya kamu menghabiskan waktu di sini?

"Tergantung kebutuhan, paling lama 5-6 jam karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan saat itu juga."

Pernahkah ada pengunjung yang terganggu dengan orang yang bekerja sepertimu di sini?

"Kalau bicara public places jelas tempat di sini terbatas, sehingga wajar bila pengunjung yang baru datang tidak jadi memesan karena kehabisan tempat. Namun, saya sendiri selalu memesan lagi setiap kopi atau camilan sudah habis sebagai upaya terima kasih pada pemilik cafe yang telah menyediakan ruang kerja digital ini."

Saya memahami sebagian besar jawaban rekan tersebut. Keinginan untuk mendapatkan fasilitas kerja yang nyaman di luar kantor dapat meningkatkan produktivitasnya. 

Sekaligus etika yang harus dipegang oleh teman-teman kerja digital di ruang publik, sebisa mungkin untuk menghargai di mana pun tempat kita bekerja. 

Di ruang publik, kita tidak hanya bersentuhan dengan laptop, data, dan deadline. Namun, ada eksistensi pengunjung lain yang layak mendapatkan fasilitas sepadan dengan kenyamanan yang kita butuhkan. 

Coffee shop merupakan contoh tempat yang paling sering menjadi lokasi pertukaran gagasan, menyelesaikan deadline, hingga merumuskan konsep gerakan sosial. 

Menariknya, belum ada tindakan dari pemerintah daerah guna mewadahi tingginya kebutuhan masyarakat akan co-working space yang nyaman dan aman. 

Padahal, kalau bicara profit dan peluang, tentu bisnis kopi ini tidak akan ada matinya. Ditambah, banyak talenta muda yang bingung mencari tempat publik yang nyaman untuk bekerja dan berkarya. 

Kenapa coffee shop yang dipilih bukan taman atau ruang perpustakaan? 

"Ada sensasi tersendiri yang menjadi magnet saat bekerja di cafe. Kita tidak sendirian. Kita bisa melihat bahkan berinteraksi dengan pengunjung lain. Ditambah, ruangan ber-AC menjadi faktor utama dalam pemilihan tempat kerja untuk WFA, bukan?"

Work From Anywhere (WFA) menjadi istilah populer di kalangan pekerja digital. Merujuk pada kegiatan kerja di mana saja, membuat aktivitas mencari cuan menjadi hal yang fleksibel dan menyenangkan. 

Sayangnya, aktivitas WFA yang sudah umum di masyarakat masih belum mendapatkan perhatian yang serius.

Jaringan WiFi stabil, ruangan ber-AC, stop kontak untuk mengisi daya, musik populer di latar belakang, serta ambience ruangan dengan dekorasi tanaman hidup membuat kerja digital di ruang konvensional seperti cafe menjadi gaya hidup baru masyarakat pinggiran kota. 

Kalau kamu lebih suka bekerja di mana? 

***

Terima kasih sudah membaca sampai akhir! 

Share artikel ini jika bermanfaat

Follow instagram @sitikus.nl bantu kamu #terusbertumbuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun