Namun, kehadiran si kecil dan tumbuh-kembangnya membuat seolah-olah ada pembatas antara "ayah" dan "ibu" yang perlahan membuat keduanya berhenti saling memuji dan menganggap tindakan kecil dari pasangan sudah menjadi kewajiban peran barunya.
Ibu seharian mengurus dan menemani si kecil bermain, dianggap WAJAR.
Ayah seharian bekerja dan begitu pulang ke rumah hanya ingin istirahat, dianggap WAJAR.
Kewajaran-kewajaran ini akhirnya menjadi anggapan umum yang tidak lagi bisa disangkal apalagi diperdebatkan. Fatalnya, komunikasi yang hanya berlandaskan "asumsi" seringkali berkembang menjadi miskomunikasi.
Ibu keberatan dengan pekerjaan rumah dan anak, tapi tidak mungkin mengganggu ayah yang sedang istirahat. Maka beban itu dipikulnya sendirian.Â
Lambat laun, beban itu bukannya justru berkurang, namun semakin mengganggu kesehatan mental ibu. Tapi, bagaimana caranya meminta ayah membantu pekerjaan domestik atau menemani anak belajar?
Peran ayah dan ibu yang tadinya sepasang kekasih yang saling mencintai, perlahan tidak lagi menghadirkan "cinta" dalam aktivitas di rumah.
Ayah merasa sudah berkorban waktu, tenaga, dan pikiran. Bekerja mencari nafkah, pergi pagi pulang petang. Belum lagi kalau macet dan diminta lembur mendadak.
Sebagai ayah, hanya ingin meminta waktu istirahat setibanya di rumah. Lelah karena pekerjaan yang berat dapat membuat mental ayah tidak baik-baik saja.Â
Tapi, bagaimana cara ayah menyampaikan "kelelahannya" pada ibu yang seharian mengurus rumah dan menemani tumbuh-kembang anaknya?
Menjalani rumah tangga tidak boleh egois.