Setiap hari, kita perlu menyalakan TV agar mendapatkan informasi terbaru. Sebuah upaya memperkaya wawasan yang kuno menurut orang di zaman digital. Kita perlu menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk dapat ke sekolah. Suatu usaha yang penuh risiko, yang akan dianggap biasa oleh orang-orang yang berpindah tempat mengandalkan transportasi online.
Saat itu, di awal tahun 2000-an, setiap anak mendengarkan dengan seksama petuah dari orangtuanya. Meski petuah itu lebih banyak didominasi sabetan sapu lidi dan jari telunjuk yang mengacung kesana-kemari. Saya, sebagai generasi akhir 90-an tidak berani menatap langsung kedua orangtua saya ketika memberikan nasehat. Saya hanya menunduk dan menjawab sepatah-dua patah kata saja sebagai respon kalau saya memahami amarah mereka.
Bagaimana dengan anak-anak sekarang? Masih takzimkah mereka ketika orangtuanya marah?
Tentunya fenomena ini dapat kita saksikan di sosial media. Bagaimana setiap orangtua dan praktisi berlomba-lomba memberikan edukasi mengenai "parenting" dan "mental health". Artinya, sesuatu sedang tidak baik-baik saja meskipun koneksi internet lancar.
Anak-anak yang tumbuh di zaman sekarang tidak dapat dibesarkan dengan cara-cara lawas seperti menggebrak meja atau mencubit paha. Mereka menganggap itu adalah kekerasan, sebagaimana saya pada waktu kecil menganggap "treatment" semacam itu merupakan "peringatan" untuk sesuatu yang amat berbahaya dan tidak boleh saya lakukan lagi.
Akhirnya, orangtua di zaman now sibuk merevisi "apa yang boleh" dan "apa yang tidak boleh" dilakukan dalam mendidik anak-anaknya. Sebagai orangtua, seseorang harus belajar kembali cara memahami bahasa anak dan bagaimana harus menanggapi mereka, alih-alih mendapatkan kuasa penuh untuk memberikan ultimatum saat anak keliru.
Itu tadi tentang pergeseran makna "menjadi orangtua". Belum lagi konten-konten digital yang seolah memperlihatkan "sisi baik" manusia antar sesamanya. Kanal media digital penuh dengan aksi baik begitu pandemi mewabah. Berbagai kegiatan sosial tumpang-tindih untuk mencitrakan "kebaikan" yang disalurkan dalam bentuk konten.
Setiap satu orang yang dapat terpengaruh oleh aksi kemanusiaan yang dilakukannya, akan mengundang lebih banyak orang lagi untuk "melihat" video-video kebajikannya. Reaksi itulah yang dimanfaatkan para kreator untuk membuat lebih banyak lagi konten kebaikan. Karena di balik sekotak nasi yang disalurkan, timbul puluhan adsense yang mengalirkan pundi-pundi kekayaan bagi si pemilik konten. Apakah hal itu sepadan?
Begitulah perubahan zaman terjadi, kebajikan semakin sulit untuk terlihat natural karena setiap orang dapat memberikan "suplemen" agar aksi kemanusiaannya dapat dinilai baik oleh publik. Lantas, bagaimana manusia di era modern dapat memaknai setiap kebajikan?
Apakah kebajikan berarti mendahulukan kepentingan diri sendiri?
Apakah kebajikan itu tentang menyingkirkan adab demi meluruskan yang keliru?