Itulah yang saya maksud dengan citra kebinatangan. Setiap orang menjadi gusar begitu dihadapkan pada lampu merah. Begitu lampu memberikan sinyal "hati-hati", bukankah kita sudah menerobos dan tidak lagi memperhatikan apakah lampu itu akan berubah hijau?
Lantas, inilah yang saya sebut "bertahan hidup". Kita yang ditakdirkan mengisi zaman paska internet ditemukan, harus berkali-kali diuji dengan perubahan disana-sini. Akhirnya, hanya pemenang sejatilah yang dapat bertahan!
Tetapi, arti dari kata "menang" itu sendiri saja sudah rancu. Bagaimana memaknai istilah "menang", ketika setiap orang dapat membeli mobil, punya rumah, bahkan dapat memberikan pengaruh bagi masyarakat secara instan?
Kita telusuri kembali memori pada perhelatan pemilu, misalnya. Apakah kita sebelumnya memiliki kedekatan dengan calon yang maju ke gelanggang politik, sehingga dengan sukarelanya kita mempercayai orang-orang tersebut untuk "memimpin"? Apakah kinerja orang-orang tersebut sesuai dengan kualifikasi yang kita cari sebagai "pemimpin"?
Oh, belum tentu.
Tetapi, kecanggihan media saat ini dapat memberikan manuver bagi mereka yang ingin "menang" di hati rakyat. Tidak perlu lagi mengunjungi tiap dusun untuk meminta doa-restu dari tokoh yang dituakan di sana. Keberadaan sosial media dapat mempersingkat sarana untuk "mengenalkan" para calon politik hanya dengan satu klik!
Derasnya arus informasi di kanal media membuat kita tanpa berpikir panjang untuk turut melakukan reaksi sebagai bentuk tanggapan kita. Fenomena ini secara psikologis muncul, sebagai bentuk aktualisasi diri di jagat maya. Setiap hari kita bersentuhan dengan tagline "like", "comment", dan "subscribe". Membuat jempol kita seakan gatal untuk memberikan reaksi setelah melihat konten tertentu.
Apapun jenis kontennya, apabila isi dari konten tersebut dapat menarik-ulur emosi, membuat kita tersedu-sedan, bahkan tertawa terpingkal-pingkal, maka akan kita berikan respon yang menandakan bahwa "saya juga nonton loh". Respon yang kita bagikan di dunia virtual akan terekam oleh fitur kecerdasan buatan, dan akhirnya memunculkan kembali konten yang serupa untuk kita konsumsi. Begitu berulang-ulang hingga kita mengganti ketertarikan atau mencari jenis informasi yang lain.
Setiap perubahan pasti membawa dua dampak, yakni dampak positif dan dampak negatif. Tentu saja kehidupan kita terbantu dengan adanya sosial media dan AI (Artificial Intelligence) yang disisipkan pada aplikasi maya yang sering kita gunakan. Kita merasa senang ketika ponsel kita dapat mengukur jarak tempuh yang berhasil kita lalui saat bersepeda. Kita merasa senang ketika dapat berbagi kabar melalui video call dengan kerabat yang jauh. Itulah dampak positifnya.
Tetapi, di balik semua keceriaan dan kebahagiaan itu, ada cerita tentang perundungan di sosial media. Ada tipu-daya yang dilancarkan oleh oknum dengan meminjam "akun" orang lain. Ada pelecehan dan pemerasan di dunia virtual. Ada kebohongan seseorang yang dapat diendus dari jejak digital. Ada lebih banyak bahaya terjadi dari setiap perubahan yang muncul.
Mendapati fenomena yang mengerikan ini, tak jarang saya memutar kembali memori masa kecil. Zaman saya pada saat itu, internet belum menjangkau desa. Bahkan orang-orang kota masih membeli pulsa untuk sekadar bertukar kabar dengan keluarganya di kampung.